Friday, April 10, 2015

Of Clocks and Philosophy

Pernahkah aku bercerita bahwa akhir-akhir ini aku sedikit tertarik dengan filsafat? Well, percayalah, kawan. Bukan bidang yang banyak digemari (dan aku mengerti mengapa), tetapi karena satu dan lain hal pada akhirnya disinilah aku dengan pemikiranku.

Salah satu hal yang menarik dari filsafat adalah bagaimana setiap tokoh filsuf menafsirkan dunia di sekeliling mereka dengan pemikirannya masing-masing, dan masih relevan hingga sekarang. By relevant, aku tidak bilang mereka benar sepenuhnya -- karena, tentu saja banyak hal yang bertentangan di antara mereka, dan tidak ada manusia yang sempurna -- tetapi, lebih karena pemikiran mereka masih menjadi perbincangan (terutama -- dan mungkin satu-satunya tempat -- di ruang kelas).

Pernahkah kalian mendengar nama Jean-Paul Sartre? Pada kesempatan ini aku tidak ingin menjabarkan biografi dan seluruh pemikiran serta karyanya panjang lebar, tetapi sore tadi aku sejenak teringat padanya (cem apaan sih). Anyway, Sartre adalah seorang filsuf Perancis yang terkenal karena pemikiran eksistensialismenya. Look it up. Quotes nya banyak kayaknya, yang paling ku ingat sih "Setiap orang itu tidak lebih dan tidak kurang daripada kumpulan perbuatannya." atau "Man is nothing else but what he makes of himself". Mungkin.


Malam itu aku sedang dalam perjalanan pulang bersama seorang temanku. Kami sedang berbincang mengenai kampus kami, dan aku mempertimbangkan untuk ikut atau tidak dalam suatu acara yang diadakan malam itu pukul tujuh tepat. Dia sudah memutuskan untuk tidak ikut, tetapi aku ragu-ragu. Aku berpikir, mungkin kalau saat itu belum pukul tujuh aku bisa berbelok berjalan ke kampus. Aku raba pergelangan tanganku dan tersadar. 

Aku tidak membawa jam. Maka, aku tanyakan waktu kepadanya.

Pukul tujuh lewat lima belas, katanya.

Baiklah. Lalu kami lanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap lagi.

Malam sudah semakin larut. Kami berdua menuju ke jalan persimpangan di mana kami akan berpisah. Kami berdua tidak membawa kendaraan. Aku saat ini tinggal di daerah di mana angkutan umum tidak beroperasi setelah pukul setengah sembilan malam, sehingga aku sedikit cemas apakah aku akan mendapatkan angkutan umum sebelum waktu itu tiba.

Aku bertanya lagi waktu kepadanya mumpung masih jauh dari jarak berpisah.

Tujuh lewat delapan belas.

Ternyata tidak berbeda jauh dari jam yang sebelumnya kutanyakan padanya.

Kemudian aku menyadari sesuatu. Pada kala pertama aku bertanya, aku tidak sepenuhnya fokus pada jam secara tepat. Pernahkah kalian mengalami hal serupa? You check your phone for time and you put it away again, but then you realize that you weren't really paying attention to the time.



Di sinilah aku teringat pada Sartre. Aku pernah membaca interpretasi Sartre terhadap pemikiran Edmund Husserl, seorang filsuf fenomenologi, mengenai kesadaran. Menurut Husserl, "kesadaran pada dasarnya disengaja".  Sartre mencontohkan pendapat tersebut seperti ini:

"Aku memiliki janji dengan Peter pukul 4 tepat di kafe. Aku terlambat seperempat jam dan Peter selalu tepat waktu, apakah dia telah menungguku? Lalu saat aku masuk ke kafe untuk mencari Peter, terbentuk suatu susunan buatan berisi semua objek dalam kafe, sebagai latar kemunculan Peter nantinya."

Dengan kata lain, dalam kasus ini, kafe tidak pernah secara objektif "hanya kafe", namun "kafe" ini dibentuk oleh kesadaran sebagai "tempat Peter mungkin berada".

Sama halnya dengan waktu. Pada contoh perjalananku malam itu, pukul "tujuh lewat lima belas menit" diinterpretasikan oleh kesadaranku sebagai "waktu saat aku terlambat untuk mengikuti acara", sehingga aku dapat memprosesnya lebih jauh sebagai aksi untuk tidak datang, dan pukul "tujuh lewat delapan belas" menurut kesadaranku adalah "waktu saat aku masih memiliki kemungkinan mendapatkan angkutan umum".

Kita melihat jam sebagai titik acuan waktu untuk melakukan sesuatu, bukan? Misalnya, saat ini sudah pukul dua malam, dan aku seharusnya sudah tidur. See? Sesungguhnya kesadaranku menilik "pukul dua" ini sebagai "waktu aku seharusnya sudah nyenyak".

Tentu saja, kalian bisa berkata bahwa sesungguhnya ini mengada-ngada dan aku hanya mengarang pola untuk mengaitkan Sartre ke dalam keseharianku yang membosankan ini. Tetapi, kalau memang tidak relevan, seharusnya polanya tidak ada sama sekali, dan aku tidak akan dapat mengaitkan ini dengan pendapat si Sartre, bukan?

Aku tidak bilang bahwa Sartre benar atau tidak, hanya saja hal ini lumayan menarik untukku, karena... kok random keingat filsafat?

Namanya juga mikir. Feel free to scold and correct me.


>> Disadur dari komik Filsuf Jagoan 2