Wednesday, November 20, 2019

November Update

It's almost the end of the year. Hell, it's almost the end of the month of the second last month of the year. I just started getting my hands on a sheet of habit tracker when I looked at the date numbers... wait, it's already the 20th. Guess I'll start next month.

Nothing much had happened since my last update. I'm still living in the same old house, sporting the same old shoes, watching the same old youtube videos and eating the same old junk foods.

For the first time in years, though, I'm bailing.

Like a fish amongst its school captured by the large net, I swam away. I looked from afar at my friends. They're going to be processed into canned foods, which was morbid, but perhaps tad nice since it means they serve their usefulness. As I made my way through the vast blue of the sea, I began thinking, should I have not run away? And that's been the question since day one.

December is almost here. Christmas holiday is coming, so my book delivery is going to be postponed. The semester is almost ending, and my lazy ass still hasn't found its will to get up and fight.

I don't know where I'm going with this. Truth is, so much is going on in my mind, so many internal battles are held stalemate until further notice, yet so little is done by me as a person. I feel like I have lost touch with myself so much that I don't know how to express what's really inside. I had become to cowardly to even recognize my own thought and feeling, that I deny them all. It's no longer about what I really want, it's more like what I have to let go to find out what I really want.

Uh, yeah, so, November update. Tried bus tour. Wrote a new novel draft. Bought new jacket and books.

Cry a lot. Sleep well.

Cheers.

Monday, November 11, 2019

Toilet Thought

Aku tidak punya penderitaan untuk khusus dituliskan hari ini.

Jangan salah, aku masih mengutuki diri sendiri atas hal-hal buruk yang kurasakan dan ketidakbecusan untuk mengendalikan emosi secara dewasa. Hanya saja bukan hal itu yang ingin aku tulis pada kesempatan ini.

Aku sedang merenung di atas kloset duduk dan memikirkan hal-hal bodoh, mengkhayalkan apa yang mungkin dan tidak mungkin terjadi. Aku terpikirkan kala kesempatan jarang kulontarkan lelucon dan respons para pendengarnya. Aku teringat salah satu podcast yang pernah kudengarkan yang membahas bahwa banyak orang yang mendengarkan podcast ketika mereka mandi sehingga mereka sama sekali tidak punya waktu merenung dalam sehari. Terlintas dalam benakku kalau orang yang mengaku bisa membaca pikiran bisa jadi antara omong kosong atau sangat luar biasa, karena bahkan aku sendiri sering tidak tahu apa yang kupikirkan.

Dilanda khayalan tentang pikiran pun, aku mulai merenungkan betapa magisnya cara kerja otak manusia. Dia mampu membuatku memikirkan tentang berbagai macam hal yang rasanya mengawang amat jauh dari singgasana buang hajat tempatku berada. Dia membingungkan aku sendiri, punggawa jasmani yang merumahi dirinya. Dia menamai dirinya sendiri, pun teman-teman serumahnya. Oh ya, namakan saya 'otak'. Kamu 'jantung', dan kamu 'hati'. Biarlah para mat saleh itu bingung dengan terjemahan bebas antara kalian berdua.

Dulu aku sempat terpikir untuk mengambil jurusan neurosains, ilmu yang mempelajari otak manusia. Brosur sebuah perguruan tinggi swasta di tanganku, dan aku boleh memilih di antara jurusan-jurusan yang terdengar trendi itu. Neurosains, goda titel itu padaku yang akan lulus SMA beberapa bulan lagi. Keren. Agung. Mutakhir. Itu kesan yang kudapat. Masalah konsep akson dan neuron yang masih terbolak-balik di dalam kepalaku (ironis sekali), itu persoalan belakangan.

Kakiku mulai kesemutan dan aku menyadari sekali lagi di mana aku berada. Sial. Sudah melayang kemana-mana pikiranku, belum juga selesai urusan perut ini. Aku menggoyang-goyangkan kaki untuk menghilangkan sensasi mati rasa, masih hirau akan pikiran sebelumnya, bagaimana kalau ternyata aku akan lebih bahagia kalau seandainya aku memutuskan untuk mengambil jurusan neurosains?

Ah, runyam sudah kalau menyangkut perkara mengandai-andai. Andai saat itu aku cukup berani untuk menyatakan perasaanku. Andai saat itu aku tetap nekat ambil sekolah di Jogja. Andai aku lebih tinggi. Andai aku lebih rupawan... dsb dsb.

Aku cukup akrab dengan dunia fisika untuk mengenal prokem multiverse, yang terkenal dengan gagasannya bahwa setiap pilihan yang mungkin, ada dunianya sendiri. Misalnya saat ini aku berandai dulu masuk SMA Negeri 1 Yogyakarta, ada suatu dunia paralel dimana 'aku' mengenyam pendidikan menengah atas di Teladan Yogya, tapi kebetulan saja 'aku yang ini' hidup di dalam semesta yang menggariskan diriku sebagai lulusan SMA Balikpapan. Ini konsep tipikal usungan film sains fiksi picisan, yang bila digarap sutradara dengan kaliber di bawah Christopher Nolan akan dicecar habis-habisan oleh para pengkritik.

Aku katakan sains fiksi karena aku sendiri tidak mengerti intisari dari konsep itu secara nyata. Berhadapan dengan persoalan termodinamika saja aku masih terheran-heran; membayangkan solusi persamaan Schrödinger masih butuh representasi visual kotak-garis. Temanku yang berlatar belakang fisika teori hanya memandangku dengan aneh ketika aku menanyakannya tentang gagasan multiverse itu. "Ah, itu mah ngada-ngada." Ujarnya santai, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada game Skyrim V The Elder Scrolls-nya yang saat itu sedang booming.

Betul memang, terdengar sungguh mengada-ngada kalau berharap seandainya semesta mengabulkan harapan muluk-mulukku untuk pindah ke Harajuku bersama Will Toledo dan membeli apartemen berbalkon satu yang menghadap pusat kota. Lagipula, apa bedanya kalaupun 'aku' di semesta lain benar melakukan hal itu? Tetap saja 'aku' yang ini masih bertandang di sebuah kamar mandi kosan uzur di suatu sudut kota Bandung, menghabiskan tenaga akal budiku untuk gagasan abstrak yang tak jelas juntrungannya alih-alih menyumbangkannya untuk bangsa dan negara.

Carl Sagan, seorang astrofisikawan dan novelis terkemuka pernah menulis bahwa "masyarakat tak pernah mengajari bagaimana membedakan sains sungguhan dari tiruan murahan". Tak bisa dipungkiri kalau aku tertarik mendalami fisika karena lebih dulu mengenal jargon abstrak seperti time travel, quantum field theory, standard model maupun teori relativitas, walaupun lebih terutama karena Pak Yo Surya. Tentu saja dengan alasan serapuh itu, aku merasa kecewa ketika mendapati kuliah dipenuhi persamaan-persamaan matematis dengan hieroglif alien, bukannya partikel warna-warni dalam balutan hadron collider.

Mungkin saja para fisikawan tulen itu lelah dengan masyarakat awam yang kesana kemari melempar istilah 'quantum' seenaknya mulai dari merk kompor hingga teknik penyembuhan alternatif. Penat dengan wajah Kakek Einstein yang kehadirannya tersaturasi lewat brosur bimbel dan kepustakaan populer berbahasan fisika. Para dosen sudah terlalu jemu untuk meluruskan miskonsepsi mahasiswa lugu sepertiku yang kebetulan terjebak dalam ranah keahlian mereka. Yang kusesalkan hanyalah betapa selama masa kuliahku aku hanya berhadapan dengan kekecewaan demi kekecewaan karena realita tak seindah pseudosains dalam benak. Aku lupa untuk mengambil hikmah, belajar tentang keindahan di dalam sains yang sejati. Yang ada hanya kegetiran dan pesimisme.

Aku merenung, berapa orang sepertiku yang punya ekspektasi tinggi untuk terjun ke dunia sains dan teknologi karena terpapar jargon-jargon emas, hanya demi dimentahkan perkuliahan yang membosankan dan situasi yang tak mendukung gairah? Apakah mereka sebodoh aku yang tidak mau mencari informasi terlebih dahulu sebelum mencemplungkan diri ke bidang itu selama beberapa tahun penuh? Apakah mereka termakan agresi istilah asing yang terdengar keren dari tim marketing universitas yang mencari wajah-wajah baru? Apakah mereka korban sistem penyebaran informasi yang kurang waras dan tidak merata? Apakah ini salah sinetron pukul tujuh malam atau menteri pendidikan yang baru?

Lagi-lagi aku merepet. Betul kan, keberadaan 'pembaca pikiran' itu hanya omong kosong. Aku sendiri saja membutuhkan waktu berjam-jam untuk menata isi kepalaku agar berbentuk suatu tulisan yang setidaknya bisa dibaca manusia dengan kognitif sehat walafiat. Kecuali mungkin kalau aku memusatkan perhatianku dan memikirkan sesuatu untuk 'dibaca' oleh para esper itu, seperti tolong aku. Aku tahu kau bisa mendengarku. Aku butuh tisu toilet sekarang.

Lalu suara pintu kamar mandi diketuk. Mungkinkah...?

"Maaf, di toiletnya masih lama?" Terdengar suara mungil perempuan dari luar pintu. Ah, betul juga. Toilet kost ini yakni sebuah properti sosialis, dikuasai komando pusat (ibu kost) dan digunakan bersama (anak kost). Sudah berapa lama aku merenung di sini?

"Oh ya, sebentar! Mungkin 5 menit lagi!" Jawabku, tak ingin menjelaskan panjang lebar tinggi volume. Kurasa lebih baik kusudahi saja hajatku di situ karena akal sudah tidak produktif dan usus tidak berkooperasi.

"OK, kak." Aku kenal suara itu, suara seorang adik tingkat satu kost. Jarang kami bercakap, tapi setidaknya kami paham keberadaan satu sama lain.

Hening sebentar.

"Tisu toiletnya aku taruh di luar ya, kak."

Terhenyaklah aku. 

Saturday, November 2, 2019

Bitter

I dreamed of you again.

You were tracing the edges of my cuts, one hand holding my wrist in place with your fingers steady, unabated. Your mouth moved as if counting, one... two... eleven... Your eyes didn't meet mine, nor did I want to. They remained observing my lower arm, unbothered.

"Tell me why," You finally spoke. I stared blankly at the open flame of the fireplace.

"I wish I knew." I replied.

"I've heard things," Your eyes finally fixated on mine, piercing stare looking for truth without mercy. You knew I have no capability to lie whatsoever. "Things that I had hoped staying mere idle gossip."

"What are they saying?"

"That your arms are really hairy."

That caught me off guard. I chuckled instinctively, which you followed with a smile. "You always knew what to say."

"I wish I could do more than saying things." Your expression turned stern. You closed your eyes and traced the scars once more without looking. I turned towards the flame once again. I felt a slight sting when your lips touched the newer wounds. I shuddered with shock.

"You're too precious to be doing this." You retracted and rolled down my shirt sleeve, "Please take care of yourself, because I will too."

At what cost...?

I stifled on my tears, knowing full well it was all a dream, thinking how equally heartbreaking if it were to be true, and for feeling sorry for myself. It was not supposed to happen. You were not supposed to know.

It was a brief moment of chocolate marshmallow dipping that I had my sleeves rolled up a bit.
There was no loving stare of that dream, only shock and confusion.

You're broken, your eyes said.

I'm scared of you, your weeks of disconnectedness said.

I think I'm going to go now, and you did.

Some people have certain memories attached while listening to a particular music, or looking at a particular stuff. For me, it's chocolate marshmallow and Green Day's 'Good Riddance' faintly playing in the background from the Halloween party five years ago. Alone, they were nostalgic and painful. Together, they amplified the neurons of that moment's memory that I couldn't help but shake in disgust. Of myself. Of you. Of the whole unfortunate thing.

If only. If only you didn't see them. If only I wasn't stupid enough to do them. If only I was brave enough to barge in your door and ask for explanation.

I dismissed the thought as I mixed the rest of the batch. The marshmallows were roasted and ready to be layered with the melted chocolate. I folded the chocolate batch with rubber spatula. The portable speaker was blasting a familiar tune on repeat. My hands were trembling, but only slightly. That's good. That's streadier than I've ever done before. I made progress.

They said to face your fear, so I did. For four consecutive years now. Hybrid of bravery, stupidity, masochism, and obsession becoming one, like the chocolate mix on my bowl.

I wrapped the chocolate s'mores into a small plastic package, tying it up with a red ribbon before putting up the final touch of attaching a note to it. I grabbed the marker and wrote on the card I prepared.

How's it going? I hope your Halloween this year is amazing as always- I crumpled the card and threw it away. I took another card from the pile.

No tricks, just treat- I considered for a moment, marker tip on my chin. A minute passed, then I wrote a little more.


Early morning of October 31st. Chilly. Wind swept away the dried up leaves in front of your house. I quickly slipped the homemade treats into your mailbox and went away without looking back.

I might be stubborn, but you were no less persistent.

I didn't know how to feel knowing that you didn't accept any of my gifts, because you knew precisely that it was me who sent it. Without me signing it. Without me giving clues that I did it. You knew me too well, yet you still didn't budge to once again have me in your life.

No tricks, just treat.

I knew you too well, and you were still willing to keep up with this sick game.

No more cuts, no more wounds.

I would definitely know if you actually eat the treats I sent.

Now would you look at me the same again?

Because I wanted you to know how it feels to bleed against your own will.