Saturday, November 17, 2012

Beware of The Media

For this one, the title actually makes sense and relates directly to what I'm about to write.
The media isn't always right. I kinda have trust issue with the media and it is quite personal.  

Dulu di masa-masa SD-ku, mungkin sekitar kelas 4 atau 5, aku pernah masuk koran.

Yep. Koran.
Koran lokal, sih... Tapi teteup aja masuk koran, hehe. *nyengir* Hanya saja, bukan karena sesuatu yang membanggakan karakteristik individualku, cuma sekedar tampil wajahnya.
Sure this kinda raise the question, apa yang salah dengan itu?
Let me tell you what went really wrong.
Hari di mana orang-orang koran itu "turun lapangan" untuk meliput berita tersebut, itu adalah hari... um... hari apa ya itu? Pada hari itu aku sedang mengikuti semacam, hmm, entah lomba, entah workshop, pokoknya berbau "Inggris". Maksudnya, ya para peserta menggunakan bahasa Inggris. Aku ke sana bersama guru bahasa Inggrisku dan beberapa orang teman yang aku lupa siapa saja --" (banyak lupa kok ditulis!)

Memang momen itu nggak bisa kuingat banyak, tapi yang jelas berkesan adalah adanya sesi tanya jawab dengan walikota daerah tempat tinggalku, yang harus menggunakan bahasa Inggris. Karena sang walikota sibuk, setelah memberikan sambutan (you know, formality thingy...) juru bicaranya mengatakan kepada kami semua (para peserta dan pembimbingnya) bahwa beliau hanya akan menjawab tiga pertanyaan, beliau bilang kepada kami melalui mikrofonnya, "Tiga pertanyaan saja. SD satu, SMP satu, SMA satu". Kemudian kami yang ingin bertanya dipersilahkan mengangkat tangan.
Lalu terangkatlah tangan-tangan semi-agresif itu. Tadinya aku gak minat angkat tangan, wong udah rame gitu kan, rempong, gak tahu pula mau nanya apa, tapi guru bahasa Inggrisku memaksaku mengangkat tangan dan aku pun manut aja bagai kerbau dicocok hidung. Disaat aku mulai mengangkat tangan, ada anak SMA yang sudah diberi giliran untuk bertanya - jangan tanya dia tanya apa, aku gak ingat - sementara peserta-peserta lain yang masih menggebu-gebu menjemput kesempatan untuk bercakap langsung dengan sang walikota masih mengangkat tangan mereka (kecuali aku, aku tidak excited sama sekali he).

Polosnya, waktu itu aku salah mengartikan perkataan beliau yang "SD satu, SMP satu, SMA satu" itu. Aku mikirnya pertanyaan yang bakal diterima cuma dari SISWA SD 1, SISWA SMP 1, dan SISWA SMA 1. Ngerti gak? Kebetulan waktu itu aku bersekolah di SD 001, jadi aku otomatis mikir bahwa aku atau teman satu sekolahku yang bakalan ditunjuk, karena tadi beliau ngomongnya SD SATU. *plaaaak*

Pada akhirnya bukan aku atau teman satu sekolahku yang ditunjuk, melainkan anak dari SD lain... Dan pada saat itulah aku menyadari kalau GAK MUNGKIN DONG SI WALIKOTA ITU TAHU MANA AJA YANG ANAK SD 001. Lagian, diskriminasi amat kalau beneran terjadi. Kasihan yang dari SD lain dong.. :/ *menampar diri sendiri*

Lalu, sebelum sang walikota beranjak pergi dari ada orang-orang dari koran lokal yang mau memotret beliau. Nah, ternyata banyak (atau beberapa lah) yang ikut berfoto di sekeliling pak walikota, termasuk guru bahasa Inggrisku itu (ih norak ya ternyata kalau dipikir-pikir lagi... wkwk ampun bu).
Karena si guru itu membuat gestur tangan yang menyuruhku mendekat untuk ikutan foto, aku comply aja. Jadilah aku berjalan menuju belakang punggung si walikota, di sebelah guruku yang sudah standby dengan senyumnya menghadap kamera. Tapi yang bisa kulihat di hadapanku hanya hitamnya bagian punggung jas yang dikenakan sang walikota, dan aku sampai pada kesimpulan penting: untuk bisa tampak di foto, aku harus JINJIT. Nah, pas waktu itu, ada orang-orang lagi mau foto, jadi nyempil di pinggir-pinggir kerumunan, dan menyebabkan posisiku tambah mepet dengan guruku.

3...2...1... Cekrik!

Kemudian pak walikota buru-buru pergi dari venue tersebut.

I thought the picture will turn out just fine. I was smiling at the right time, standing on my toes at the exact moment, and nothing could go wrong.... right?

Wrong.

Waktu artikelnya keluar di koran, WEEEEEEEIIIIII ADA GAMBARKUUUU~ walaupun cuma nyempil dari belakang punggung si orang penting... yang penting kan udah pernah masuk ko- tunggu.
Ada yang gak beres.
Caption-nya.
Shite.
Ingat saat kukatakan di saat-saat terakhir mau foto posisiku mepet dengan guruku? Nah, di foto ini pun kebetulan kaki dan tanganku gak kelihatan, karena memang sudah pada dasarnya "nyempil", ditambah pula dengan kerumunan yang ikutan foto di samping-samping pak walikota yang menghalangi pandangan kameraman ke property badan lengkapku (eh apaan nih).
Jadilah captionnya: "...Tampak seorang anak yang tidak memiliki kaki dan tangan sedang digendong oleh ibunya ikut berfoto."

Like, SERIOUSLY? I freaking know that caption was about ME. Posisiku dan guruku dalam foto itu emang mengesankan kalau aku GAK PUNYA UPPER LIMB dan DIGENDONG. Yang kelihatan kepala thok! Apalagi orang-orang lain dalam foto itu tampak normal-normal aja, badannya gak pada ketutupan whatsoever.

But come on, TANPA KAKI DAN TANGAN? Kalau emang benar ada anak tanpa kaki dan tangan yang muncul dalam acara tersebut, tentunya dia bakal jadi bahan bagus untuk artikel tambahan, bukan? Tapi pada kenyataannya dalam artikel yang ada foto"ku" itu, sama sekali nggak ada membahas tentang keanehan atau spesialnya acara tersebut sehingga seorang anak dengan fisik setidaksempurna itu bela-belain datang ke sana...
Dan DIGENDONG IBUNYA? She's my teacher! Not my mother! Gila emang tuh koran, asumsinya ngawur banget. Ngawur sengawur-ngawurnya ngawur.

Memang itu hasil dari koran lokal yang nggak kredibel, tapi sempat bikin shock. Pengen marah dan menertawakan mereka yang mencetuskan caption tersebut di saat bersamaan.

Tapi pada intinya, yang tetap di benakku bukan perasaan marah atau perasaan pengen ketawa lagi. Sejak saat itulah aku mulai mempertanyakan media.


Dan cita-citaku untuk menjadi seorang jurnalis jadi terpatri waktu itu. Tentu saja untuk meliput hanya kebenaran semata sehingga orang tidak lagi terjebak dalam series of letter dan caption yang menjebak.


This way I've learned: Don't trust the media that easily.

Tuesday, November 6, 2012

Blog on the Run

I'm posting this from my mobile now. Blogger has mobile app, I had been aware. I had planned to post something everyday but you know my issue, being a lazy arse.

Saturday, November 3, 2012

Problems With People

This week hasn't been great. I keep having communication problems. Well, some of them are my fault, but not entirely. *shrugs*
What I meant by comm probs are not about my text messages getting pended by the operator, it's that what I'm trying to say to people are being totally misinterpreted due to my lack of social skill or just simply by my wrong way of thinking that people can read part of my mind. Well, newsflash, they can't.

Rabu lalu, aku dengan beberapa kawan sekelasku memutuskan untuk mengunjungi mall sepulang sekolah. Beberapa dari kami berniat menonton Skyfall yang baru-baru ini masuk ke bioskop Blitzmegaplex yang kebetulan juga baru buka dan dengan murah hati memberikan harga promo 30% dari harga normalnya (yep, aku menghitungnya), sedangkan aku sendiri tidak tertarik. Tapi karena aku ingin mengunjungi hotspot wi-fi di sebuah restoran, jadilah rencana ini diniatkan.
Ternyata pada akhirnya peserta rombongan kami berkurang dua, karena satu orang rupanya gak bisa, dan satunya langsung pulang O.o Anyway, karena dua orang ini termasuk dalam rombongan yang berniat menonton, maka kami pun gak jadi nonton dengan alasan orangnya terlalu sedikit (yang niat nonton juga jadinya cuma satu hehe). Lalu kami berempat pada akhirnya nongkrong di McD.

Dimana masalahnya?
Here it goes. Masalah dimulai ketika aku yang memesan di kasir.
Kami tadinya hanya ingin memesan 3 minuman bersoda krim dan satu es krim, sekedar mengganjal perut, lagipula aku sedang mengurangi kadar minyak dalam makananku, pikirku. Eh tahunya selama ngenet itu (ada hotspot wifi cihui di McD) kami mendadak lapar. This C girl suggested us to order a more money-saving package deal. Nasi dengan ayam dan soft drink hanya 16.500, katanya. "Kalau gak salah namanya paket hemat."

So K and I walked downstairs to the cashier. Aku lihat di papan menu yang menyala-nyala di atas kepala si mbaknya ada tertulis paket hemat. Tulisannya "Paket Hemat termasuk Medium Fries dan Medium Soft Drink". Ada tulisannya termasuk kan? Jadi tanpa bertanya pada si mbaknya aku langsung berkesimpulan bahwa paket hemat yang disarankan C juga termasuk kentang goreng. Kupikir, lumayan nih. Lalu giliran memesan kami pun tiba. Tanpa basa-basi aku langsung memesan tiga "Paket Hemat" ini. Eh ternyata harganya kok mahal ._. Tapi waktu itu pikiranku lagi rada nge-blank jadi gak begitu kuperhatiin...
Kemudian mbaknya pun menaruh tiga bungkus kentang goreng ukuran (relatif) gede (menurutku) di atas nampan kami, disusul tiga gelas soft drink. Lho? Kok kentangnya gede banget? Aku berbisik kepada K di sebelahku, "Kentangnya gede-gede banget ya, agak mencurigakan nih..."
Terus dengan gobloknya kami masih menanti kedatangan tiga porsi nasi dg ayam goreng. I knew McD isn't that generous! Si mbaknya tampak udah selesai melayani pesanan kami dan memberikan kami gestur untuk minggir karena pelanggan selanjutnya ingin memesan. K dan aku pun saling berpandangan dengan tatapan yang mengekspresikan "That's it?"
K membawa nampan berisi "Paket Hemat" itu sambil bertanya pada mbaknya, "Ini sudah semuanya ya, mbak?" dibalas dengan jawaban affirmative dengan senyum aneh oleh si mbak kasir. Kami pun melenggang balik ke meja kami dengan perasaan dibodohi.
Damn.

Masalah dengan kasir gak berhenti sampai di situ dalam kurun waktu minggu ini. Kali ini kasirnya berbeda. Kasir suatu pusat permainan arcade di (lagi-lagi) mall (tapi molnya beda).
Sabtu lalu, aku pergi dengan ketiga kawanku untuk main Pump it up. Tahu, kan, permainan mesin yang injek-injekin kaki mengikuti irama lagu? Yeah, that.
Kami memutuskan main di area Funcity karena mesin pump di sana lebih baru dan lagunya lebih banyak yang kami kenal. Sesampai di sana, kami sepakat masing-masing membayar 6000 rupiah, sehingga mendapat 24 koin untuk main berpasang-pasangan sebanyak 4 kali.
Then there's this problem. See, karena popularitas permainan ini yang (ternyata) remarkable dan mampu membuat siswa sebaya kami bersedia menghabiskan uang jajannya, seperti yang sudah kami duga, mesin tersebut sudah ditempati (sekitar) tiga orang dari sekolah lain. Yah, biasalah. *mengedikkan bahu*
Jadi sementara mereka main, salah seorang dari kami langsung saja memasukkan semua koin yang kami beli setelah melihat credit para pemain yang sedang nge-pump itu. Satu credit ini bernilai 3 koin. Mereka sisa 4 credit, dan karena kami memasukkan ke-24 koin kami, semestinya sisa credit yang terpampang di layar mesin tersebut 12 credit. Tapi alih-alih 12, yang tertera hanya 9! What?

Ternyata mesin pump tersebut punya batas memasukkan koin! Dan batasnya 9, saudara-saudara! Jadi kesimpulannya sih, kami rugi 3 credit alias 9 koin alias 9000 rupiah. The bravest among us berjalan ke meja kasir dan bertanya kepada si mbaknya kalau mesin tersebut punya batas memasukkan koin...
Kayaknya sih si mbaknya gak tahu apa-apa, soalnya belum selesai dijelaskan pokok permasalahannya yang singkatnya adalah "kami nggak tahu kalau mesinnya punya batas koin, jadi 9 koin kami hangus dan kami minta ganti", eh si mbaknya (dibantu seorang masmas yang mukanya songong) langsung meng-interrupt permainan cewek-cewek sebelum kami sambil bertanya sesuatu mengenai koinnya..

I guess we didn't make ourselves clear. Masalah kami bukan sama cewek2 yang main sebelum kami, tapi sama mesinnya yang gak dikasih peringatan kalau ada batas memasukkan koin. Terciptalah commotion antara kami dan petugas Funcity mengenai masalah credit ini, tapi satu dari cewek2 yang main sebelum kami juga diseret ke masalah ini oleh masmas di sana. Pada akhirnya she offered supaya dia ganti rugi credit kami, dan si masmas langsung menyalaminya sambil berterimakasih banyak kepadanya. O..kay?
No, it's not okay. It wasn't her fault. Kami jadinya terlihat seperti the bad guy dalam masalah ini despite the fact that we were trying to stand for our rights. Jadi sampai disitulah pembicaraan kami, dan para petugasnya (yang tadi banyak mengerubuti pengen tahu ada apa) pun langsung bubar.
We eventually turned down her offer and decided not to play that damned machine for the rest of our senior high year.

Jadi anak-anak, kesimpulan dari pengalamanku minggu ini antara lain adalah:
  • Jangan langsung mem-fakta-kan sebuah asumsi yang kalian buat. Walaupun namanya "Paket Hemat" belum tentu harganya beneran hemat dan isi paketnya sesuai dengan apa yang dikatakan temanmu, dan walaupun di mesin Pump It Up tidak ada tulisan bahwa ada batas memasukkan koin, jangan tertipu. Lebih aman bertanya dahulu, daripada akhirnya menyesal.
  • Jangan mengira setiap pramuniaga itu credible atau profesional. Sudah tahu etos kerja di negeri ini gak begitu tinggi dan nilai profesionalisme itu cetek, mau mengharapkan yang terbaik dari orang-orang yang latar belakangnya belum jelas?
  • Jangan keseringan ke mall. Junk food membius kalian, mesin Pump makes you miserable, dan menghabiskan duit.

Cheers.
T.

(Go on, Funcity, sue me.)

Friday, November 2, 2012

Self-Depriving Thoughts

Lately my life hasn't been as sharp as ever. My days are getting... normal. Dull. A repetitive cycle of actions I could not escape. Well, to be fair, I could escape it, but I'm just too lazy to do so.

I'm in my 12th grade by now, and things -- by things I mean school stuffs, because basically my only life is being online and being a student -- are starting to get tough. Wait, that doesn't sound right. Things are supposed to get tough, right? I mean, the whole UN (Ujian Nasional a.k.a National Examination-- if it's the right English to interpret it) thingy, the pressure of getting better grades to prepare for college, and the subjects that start to get harder, more advanced. It should be at least a priority concern for a normal, determined 12th graders who are actually taking school seriously... At least to my point of view, it works that way.

However, things are different to me.
I still cannot see the priority very clearly, and to be honest, even all I ever do during the 12th grade is slacking off. I barely study. When I get home from school (usually at 3), I've already planned to take a one-hour nap, and then pray, and then take a bath, and do my homework until 6. Sounds good, but then when I actually home, I'd change my clothes, lay down on my bed and either tweeting, playing sudoku, or play PSP for at least an hour. At. Least. When I have (had, it's broken now..) my PSP, I'd even play until 5 or more, and continue at night until I fell asleep.
Every time it happened, I'd always promise myself that I'd execute the plan tomorrow, and when tomorrow comes, it happens again. And I'd promise myself again that I'd do better tomorrow.

And it never actually happens. Ever.
I did better on my 11th grade. I still could study at least an hour everyday, but now, I can't even read a single biology textbook page in my room without yawning. During my 11th grade, I could study all night for a test held tomorrow, but now I'd only survive reading 2 hours and then I'd reward myself with an intentionally-planned-to-be an hour nap that will eventually put me in a deep sleep until 6 in the morning.

Is it safe for me to say that I'm devolving? I feel like my future isn't as bright as I used to see it. I know I need to get better, but how? Yeah, go on and say that I need to do it "today", say that I need to "work on my determination" harder, but you know what makes it worse?

I have no ambition. No sole purpose. I'm not that kind of "dreamer" who envisions everything so well and does every single action determined by that dream they have. Sure, I'd like to be that guy, but how? I can't even tell what my ambition is. I still don't even know which college to attend, which major to take, which job to sign up as.

All I ever want to do is stay this way. But that is logically impossible because life goes on, and so do people, and we all eventually need to change following the flow. I guess that's also my problem. Everything around me changes and I'm not prepared to change.

So that's why I've been planning (all I seem to ever do was planning!) to create a "Self-Improvement Lists". It's a book in which I will put all my "to-do"s about my academical plan, my musical skill, my self-findings, my ways to find a passion, my lifestyle changes, and basically everything I might need to improve myself.

Maybe when I have created it I will share it right here. I hope if it works for me, it can be an inspiration for you all. I've always wished I can inspire people.
Now my first to-do is create that damned book. Boy, I gotta find that notebook I intended to put the lists into.

Saturday, September 1, 2012

It's Always The Quiet Ones

Ever wondered why that guy in your class just sits still, staring into the emptiness, during the recess where everyone is so bothered with companies? Or is he just that invisible to you that you don't actually realize that he was there?

Whether you notice them or not, quiet people are the ones that been there the whole time.
There is a reason why silence, my friend, is gold. I always think silence is an art.

Next time, try to notice someone who is being quiet all alone, while other people are busy chattering and laughing and decided not to speak to that someone. Unless you're Sherlock Holmes, you can't really deduce what that person has in mind at that time.

They might be wondering why nobody bothers to talk to them, wondering if people apparently dislike them, wondering if they might be annoying to people, wondering what clique they should join first in order to make friends, wondering if they could make any new friends after all, or even wondering if they could accept the idea of being forever alone...

I did that. Lots of times. Especially when I got into a new class. I've always imagined how awkward my daily conversations would be, how my new friends would be like, what kind of clique I'd fit into, and those kind of stuffs.

By now I have friends - quite a lot, big achievement for someone like me - I still like spending some time alone, like in class, during the break, when everyone is too busy doing things to actually notice me - or when I turn down my friends when they ask me whether I'd join them to canteen or not. I like being quiet when everyone's talking, and vice versa. I guess it's just in my nature to rebel. I wish. Ha.

But seriously, I do that. Everyone's talking, and I just sat there listening to their noises. Talking about people, about the notes on the whiteboard, about the card plays, about computer games, about their activities last night... Oh, aren't ordinary people adorable?


Monday, August 27, 2012

Newsflash From St. Albans

So.
In variety to my usual Linkin Park ramblings, I'd like to introduce you to one of my other favorite bands to listen to.

Enter Shikari.

Who are Enter Shikari and why are they here on my blog?
I'm not Wikipedia, so I won't be quoting their full profile here. I'm writing solely as a fan, and this post isn't just going to be a copy-paste piece just to fill the pages. Naah.

It all started in a dull evening of March 2012. As usual, I was browsing through the internet, and during that moment I (and my internet modem, apparently) was (were) in a good mood to surf YT for some music videos. Beginning with some channels I was already familiar with, I glanced at the "Featured Videos" section at the right side of the screen, and decided to give those videos some tries.

And there it was. Enter Shikari - Arguing With Thermometers.

Been a fan of "rock music" as I were, the name Enter Shikari sounds kinda familiar. They have been featured in a magazine I like to read for quite some time. Kerrang. If you knew. This K! mag usually features variety of bands that I'm fond of; the kinds of Linkin Park, My Chem Romance, Rise Against, Papa Roach, Sum 41, Avenged Sevenfold -- Goddammit! It feels like I finally found a company. Someone who actually likes THESE bands. Someone who has interest with the EXACT PACK of BANDS that I'm into.

So, seeing the name of the bands that my buddy (K! magazine) recommended just a click away, I gave it a try.

Who knows it would make such a difference.

Arguing With Thermometers.

Two words. Holy. S__t. Just... wow?
Maybe you guys just don't get how I can get so speechless, so appalled over a silly music video like this. But how can't you??
I gotta admit, the word "silly" might describe some aspects in the video pretty well.
See, the vocalist [Rou] dressed as a news reporter -- and later on known as Phillis McCleavland, another persona, in the fanbase (he even has a twitter account!) -- while the bassist [C. Batten] and the guitarist [Rory C] took the role as cameramen. And the drummer? [Rob Rolfe] Weather man. With drums. Gosh, I actually laughed. No, no particular reason as the video was too hilarious to be real, or it sucked so bad, no.

The video starts with a newsflash banner, like, real TV news. During this I wondered how the music would be like... Then, all of a sudden, heavy guitar riff with a thunderous drum beats commence! Followed by Rou's post-hardcore style scream for "THIS IS AN EXPEDITION-" with a generic newsreader straight expression, I dropped my jaws. For a moment, I thought the whole song's gonna be all screamo, but my expectation went wrong.

After the verse scream, the guitar riff slowed down, and replaced by smoother vocal lines (no scream) full of ambiguous critical lyrics with the touch of fast groovy beats. I don't know exactly to describe the atmosphere, I'm not a music critic, but that part sounds very tempting to dance to, to jump around to, to headbang to. Until the lyric "Shackleton is rolling is his grave" stops.

Nonetheless, the sound variety doesn't stop there. The guitar tempo and the drums started to increase rapidly, joining the semi-rap fast-tempered politically aware vocal lines that creates the chaotic atmosphere in your headphones. It feels like Rou was exitting the studio, and suddenly reporting news in an anarchic situation. And don't forget the touch of electronica that continues until the next part where the instruments rest and let the cymbal plays flow.

Followed by sounds-like "boop boop boop" dubstep-ey touch, half-screamed exclamation of "Yeah!" which rate and pressure keeps increasing to a full scream point "you know there's oil in the- ICEEE!". The atmosphere gets chaotic again by the time the bass gets heavy, but Enter Shikari just don't stop. The last three "boop"s opens the gate to the electronica dominance to accompany the lyric "that's a maniac standpoint!" and "psychotic outlook" very fittingly.

The rapid guitar tempo and drum beats repeats again (from the second verse and pre-reff), groovy beats followed by chaotic feels all over again, with a burning, increasing tension just before a line of guitar riffs start rebellious bridge of several "WE'LL TAKE YOU DOWN"s. And a "STAND YOUR GROUND" in which part most instrument paused, just series of guitar lines.

Then the video changed setting. Phillis throwing the papers in the studio, while the full scream point of "You know there's oil in the ICEEEE" echoes in your headphones. Studio gets chaotic. Again. "Yeah! We're all addicted!". Again.

After the nervous wrecking synthesizer plays and serious "boop"s accompanying another "psychotic outlook!", the ear roller-coaster rainbow came to an end by conservative use of guitar and bass and drums played in slow tempo. The lyric "Dig deep." closed the curtain.


So kids, that's how I met the love of my music life. Again. At that moment I fell in love with Enter Shikari. Their music, I mean. I gotta say, after been quite a while, I finally found a band with a new, fresh sound I'm fond of. "Arguing With Thermometers" is just full of variety in its sounds, and the video's pretty brilliant too!

If you ask, my favorite part of the video is when the four of them walked along on the street screaming "We'll take you down!". Oh, and when they make upside-down triangles with their both hands' forefingers and middle fingers, smiling. Oh, and when Rob points the weather forecast background with the drumsticks, and when he slides down his glasses with a "WTF?" expression looking at Phillis going all raging, throwing papers in the studio. MAN! Basically I love all the moments I spend watching this music video.

I'm definitely updating my Top 10 music videos and gonna put this one on #1. Ha.

--

So, what's with the title? In case you're too lazy to Google up, Enter Shikari is a band from St. Albans, UK.


Cheers to Lions!
T.

Tuesday, August 21, 2012

It's 1.50 AM and...

...I'm not asleep yet. Yep, as always. No- no- not "always", but generally, yeah...

Kebiasaan banget jadwal biologisku "tidur - gak tidur". Pengennya gak tidur, tapi ngantuk, tapi kalau udah sampai tempat tidur, malah melek, gak bisa tidur.

Jadi, disinilah aku, ditemani secangkir jus apel (karena kopi terlalu mainstream) dan In Waves-nya Trivium (yang sebentar lagi akan tergantikan lagu lain di playlist), mengetik sebuah posting untuk blog yang sudah lama terbengkalai ini.

Masalah sekarang, apa yang harus aku isi untuk postingan ini? No- no- do not tell me. I will just let the words flow! I'm going to post about... Yesterday. About my cwappy doubt and hesitation.

It's Eid. It's about Eid Fitr. Idul Fitri. Lebaran, begitu sebutannya di sini. Momen-momen "fitrah", "kemenangan", begitu kata orang -- kata iklan juga, tapi sejujurnya selama 17 tahun hidupku ini aku tidak pernah merasa benar-benar "bersih", benar-benar "fitrah". Dulu waktu kecil (gak kecil-kecil amat sih) aku selalu tersugesti dengan pemikiran bahwa di hari Idul Fitri, dosa-dosamu akan dihapus dan kamu menjadi suci kembali seperti bayi - nah, dari sini aku mulai ngerti maksud dari konsep "hari kemenangan" itu. Tapi berangsur-angsur beranjak gede, aku mendapatkan pemikiran lagi kalau kemenangan itu cuma bisa didapat dengan ibadah selama bulan Ramadhan itu sempurna -- sholat gak bolong-bolong, puasa penuh sebulan (dan gak cuma nahan lapar-haus, nafsu juga. tapi walau begitu kayaknya juga masih banyak yang gak ngerti konsep sebenarnya dari puasa itu bagaimana -___-). Dengan pemikiran kayak gitu, dimulailah bulan-bulan Ramadhanku yang (berusaha) disempurnakan shalatnya, dan puasa gak bolong-bolong...

Tapi emang dasarnya bandel, udah selesai momen lebaran mulai lagi lalainya. Aku ingat, tahun ini aku (beneran) mengingat momen-momen pasca lebaran pada tahun-tahun sebelumnya -- dan Subhanallah, despite all the mistakes that I have done in the past afterlebaran, Allah still gave me the chance to meet this year's Ramadhan. No- no- sebelumnya, aku sama sekali gak ada koneksi dengan kumpulan anak-anak rohis (anggap aja istilahnya begitu), tapi tahun ini, berkat adanya twitter dan lingkup pertemanan yang lebih luas, aku bisa memantau dari tweet mereka betapa pentingnya bulan Ramadhan ini, mengapa sangat istimewa, dan beberapa hal mengenai Islam yang sebelumnya gak kuketahui. Semisalnya tentang kritik doa berbuka puasa yang sering ditampilkan di TV (bukan sering, malah SEMUA saluran) -- yang "Allahuma lakasumtu-" itu (ini tautannya kalau mau lihat)...

Pertama kali aku tahu tentang doa buka puasa yang benar itu adalah dari pesantren kilat di sekolah. Sewaktu itu aku masih berpatok pada doa yang "allahuma lakasumtu-" itu, lalu pada kesempatan itu sang penceramah (pak guru sih) bertanya kepada peserta pesantren siapa yang tahu doa buka puasa. Lah aku mikirnya sih "siapa yang gak tahu?", lalu banyak yang mengangkat tangannya. Kemudian beliau menunjuk seorang temanku (yang namanya Khansa, anak FKPM, notabene), ia maju dan membacakan doa yang... waktu itu aku gak tahu (I was all "huh?!"). Sepertinya mayoritas anak-anak juga gak tahu, karena terdengar bisik-bisik gelisah (apa sih), dan sang guru pun berujar, "Yak, benar!". And the crowd goes shocked. Kata beliau sih selama mengajar baru kali ini ada yang jawab doa yang sahih. Lalu sejak saat itu aku mulai menghafalkan doa yang sahih tsb, tapi...

Pertanyaan itu masih saja terganjal di benak.

"KOK BEDA SIH sama yang di TV?" - dan pertanyaan yang (menurutku) lebih bagus lagi - "Kenapa yang ditampilkan di setiap saluran televisi selalu doa allahuma lakasumtu- yang gak sahih gitu?" and I mean SEMUA saluran TV. Don't you think so, too? Apa ini semacam konspirasi atau memang sebuah permainan yang diciptakan oleh Departemen Agama Islam supaya kita semua tidak malas untuk mencari tahu kesahihan suatu kalam Allah? Seriously, WHY?

I've been thinking of this for quite a while. Pertanyaan "kenapa berbeda?" itu kemudian merembet lagi ke "bagaimana kalau ternyata pendapat berbeda itu gak berlaku cuma buat doa buka puasa?", ke "jadi pendapat mana yang harus diikuti?", ke "apa aku udah melakukan ibadah lain sesuai ketentuan yang benar?", ke "gimana dengan puasa-puasa sebelumnya ketika aku masih membaca doa berbuka yang gak sahih itu?"... dsb. Maka bahkan selama ini pun aku berbuka puasa membaca KEDUA doa tersebut -- yang dibilang sahih dan yang dibilang gak sahih itu -- karena takut salah :/

Lalu Ramadhan tahun ini pun aku lewati dengan (masih) bertanya-tanya tentang hal yang... ekstrim. Paling ekstrim adalah "What if I'm living a lie after all?". Nah, y'know, selama bulan Ramadhan itu pasti banyak yang ngadain ceramah kan? Aku cuma menghadiri sedikit ceramah (6 materi selama pesantren kilat di sekolah) dan membaca kultwit ustadz di twitter dan alih-alih menjadi tercerahkan, pertanyaan-pertanyaan malah menghujani kepercayaanku. Entah ini tipu muslihat iblis atau bukan (karena seharusnya mereka terbelenggu selama bulan yang suci ini kan?), atau memang pemikiranku ini sudah teracuni filosofi yang kelewat kritis. Aku hanya berharap apapun yang terjadi, semoga saja mata batinku masih mampu menerima hidayah-Nya dan pintu tobat masih dibukakan untukku sebelum ajal tiba...

Sempat terbesit di benakku suatu ide, suatu pemikiran.. Bisakah aku meninggalkan dunia ini sejenak, menemui Allah, bertanya kepada-Nya tentang semua ibadah yang wajib kulakukan untuk pantas menjadi penghuni surga-Nya, bagaimana ibadah yang sesuai syariat itu, agar tidak lalai, dll, lalu kembali lagi ke dunia ini untuk menjalankan perintah-Nya sebagaimana mestinya? Ah, tentu saja tidak... Tidak akan adil bagi orang lain. *menghela nafas*

Kemudian batinku menampik diriku sendiri.. (Aku berbicara dengan diriku sendiri, yap.)
"Bukankah itu inti dari kehidupan? Mencari tahu kebenaran?"
"Aaah iya, itu sangat filosofis..."
"Hidup memang penuh misteri. Kamu hanya perlu menguak misteri itu."
"Apa jalan hidupku sudah benar? Atau apa aku hidup dalam kebohongan semata? Bagaimana kalau semua ini hanya mimpi?"
"Bukankah kamu sudah menemukan jalan yang benar itu? Jalanilah jalan kebenaran itu, bekali dirimu agar siap menjalani kehidupan yang kekal dan indah nanti."
....
Sebuah pertanyaan ekstrim muncul lagi. See, we all know Heaven as a place where we will live forever, where we will get whatever we want.. right? I then asked myself this: "Lalu? Apa yang akan kita lakukan setelah kita masuk Surga? Apa seru hidup di Surga nanti, tanpa ketidakpastian yang selalu menemani hari-hari kita? Tanpa misteri yang harus dipecahkan?"
Seriously. I don't even have the right I deserve to ask that -- even to myself. Sombong banget kan kesannya, belum pantes juga masuk Surga malah udah nanya-nanya begitu? Tapi beneran deh, aku gak bisa menepis pertanyaan itu. Beneran pengen tahu, kehidupan di Surga nanti gimana..  It's beyond human logic, they say, tapi aku selalu menganalogikan kehidupan di Surga sebagai hidup yang serba berkecukupan, serba ada, tanpa hal-hal seru, tanpa cobaan, tanpa pemikiran-pemikiran dan pendapat berbeda dan berwarna (karena bukankah menurut agama orang-orang kafir tidak akan masuk Surga?)... Dan selamanya. Kehidupan seperti itu akan kekal. Bukankah agak... membosankan?

Aku tahu pasti aku gak bakal sanggup, gak bakal tahan masuk neraka (na'udzubillahi min dzalik). Nancepin jarum ke kulit aja rasanya sakit, kena air mendidih aja udah lompat-lompat gak karuan, kegores ujung kunci aja udah luka... That kind of eternal life would suck as well, eh? I can see now why the atheists are so confident about living their life without worrying about the afterlife... OH GOD what did I say?? I agreed with them?? No- NO. Shut up!! Quiet. Diam. Aku perlu udara. Aku perlu pencerahan. Aku perlu berbicara dengan seorang psikolog tentang ini! Aku perlu dia meyakinkanku bahwa aku tidak memiliki gangguan bipolar! *tarik nafas panjang*

And talk about afterlife. Barusan aku berpikir, kalau orang kafir tidak akan pernah masuk Surga, berarti... Bagaimana dengan para musisi yang telah menyelamatkan hidupku?? [Tidak perlulah kusebut kan :'/ it hurts to think about it]
Mereka begitu menginspirasi, banyak membantu orang-orang melalui proyek mereka, menyelamatkan hidup melalui musik mereka, berdiri tegak menyampaikan pendapat mereka dan melindungi kaum-kaum minoritas, menghentikan tindak bullying, dan lain sebagainya, tapi mereka tidak pantas untuk mendapatkan Surga? :' ah, sangat disayangkan.. Aku sangat depresi memikirkan hal ini karena.. mereka begitu berarti bagiku, dan mereka akan berakhir terbakar begitu saja? Tapi apa yang bisa kulakukan? Jangankan mengajak mereka memeluk Islam, bertemu secara pribadi saja akan sangat sulit... Dan kalaupun punya kesempatan mengajak, mereka tidak akan langsung begitu saja menerimanya kan? ;~;

Begitu banyak pertanyaan yang menyerang, dan yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menjalani ajaran ini tanpa terlalu banyak berpikir mengenai ketidakpastian... Just doing what I can, because after all, what you don't know won't kill you.

I will pray, pray for the best for me, for my family, for my brain to stop being such a depressing jerk, for my fellow muslims around the world, for those who had saved my life although they don't even recognize my existence, and for my heart to be able to see what my human logic had been seeking..

..But seriously, I still need a psychologist to check if there's actually something wrong with my mental.  



T.

Sunday, May 20, 2012

Follow Your Dream? Cliche or truth?

Pencarian jati diri memang melelahkan, tapi lebih buruk tidak mengetahui cara melakukannya..

Sudah hampir sebulan sejak milestone kehidupan saya mencapai 17 tahun... mungkin waktunya kurang tepat untuk mengaku bahwa saya mempertimbangkan hal-hal yang sudah terjadi dalam kehidupan saya. Lazimnya lebih pas untuk mengatakan "saat usiaku beranjak 17, aku mulai memikirkan ulang hidupku" ketimbang "27 hari setelah ulangtahunku yang ke-17, aku mulai berpikir akan hidupku", tapi... Begitulah hidup.

Pencarian jati diri mungkin bukan hal yang saya kuasai. Orang bilang "be yourself", "follow your dream", dan berbagai kutipan klise lainnya yang notabene terdengar valid dan ingin saya klarifikasi keabsahannya.. tapi ternyata tidak semudah itu.


"Follow your dream". Kutipan ini benar-benar mempengaruhi saya pada detik saya memulai obsesi saya terhadap anime One Piece. Odacchi menggambarkan petualangan Luffy dan kawan-kawannya dengan gaya yang sangat menyentuh... Apapun yang mereka lakukan, mereka tetap stick pada ambisi mereka, pada mimpi mereka, dan kendati mereka dihadapkan pada pilihan antara meraih mimpi mereka dan hal lain yang mereka terpaksa harus terima, ambisi mereka yang sudah tertanam dalam hati membantu mereka mengambil keputusan yang tepat.
Moralnya adalah untuk mengikuti mimpi. Apa mimpi saya? ..bahkan saya tidak tahu.

Setiap orang pastinya punya mimpi. Bahkan orang-orang ambisius, motivator, penasihat pembelajaran, semua mengatakan kepada kita untuk meraih mimpi kita. Dengan sikap seolah-olah orang yang tidak punya mimpi itu orang yang tidak akan sukses. Sikap ini malah membuat saya skeptis terhadap orang dengan profesi macam mereka. Saya hanya akan menaikkan alis dan membatin, "I beg to differ...". Yeah, saya tidak punya mimpi, tidak memiliki ambisi yang konkret. Tapi saya sangat ingin punya satu.

How do you expect someone to find something everyone already has since they were born?

Dulu memilih cita-cita waktu saya kecil sangat gampang... Dokter, astronot, pilot, polisi, suster, pramugari, penyanyi, artis, guru, you name it... Sekarang? Definisi cita-cita makin sempit, tapi bidang makin luas. Saya saja baru tahu kalau ada profesi sebagai auditor bagi perusahaan untuk mengetahui apakah usaha mereka memenuhi standar yang environment-friendly atau semacamnya... dan profesi itu ayah saya yang pegang.

Setahun lagi lulus SMA, dan saya bahkan tidak tahu harus memilih fakultas apa. Berdasarkan kualifikasi saya selama SMA ini, paling ideal memang memilih fisika. Hanya saja, saya baru sadar bahwa saya tidak begitu menyukai fisika. Bisa dibilang kalau nilai fisika saya relatif bagus, ada lomba-lomba fisika yang saya menangkan, penganalisaan soal-soal fisika cukup baik, tapi ternyata saya tidak begitu menyukai fisika... Apa saya harus memaksakan diri menyukainya? Atau apa ini bukan jalan saya? Data not found.

Kalaupun saya ingin memilih "fisika" ini sebagai jalan ke depannya, saya baru sadar bahwa ada BANYAK sekali fakultas berkenaan fisika.. tapi yang pakai embel-embel fisika belum tentu perlu ilmu fisika sesuai yang dipelajari di sekolah menengah atas... Fisika teknik? Fisika murni? Astrofisika? *menghela nafas* Yang mana, saya tidak tahu... tapi waktu terus berjalan dan saya tidak bisa menunda memutuskan lagi. Begitu orang yang baru bertemu saya tahu saya SMA kelas 2, hal pertama yang menjadi pertanyaan berikutnya spontan adalah: "Nanti kuliah mau ke mana?"

Well, I still don't know.

So I guess it's still a cliche quote.