Saturday, November 17, 2012

Beware of The Media

For this one, the title actually makes sense and relates directly to what I'm about to write.
The media isn't always right. I kinda have trust issue with the media and it is quite personal.  

Dulu di masa-masa SD-ku, mungkin sekitar kelas 4 atau 5, aku pernah masuk koran.

Yep. Koran.
Koran lokal, sih... Tapi teteup aja masuk koran, hehe. *nyengir* Hanya saja, bukan karena sesuatu yang membanggakan karakteristik individualku, cuma sekedar tampil wajahnya.
Sure this kinda raise the question, apa yang salah dengan itu?
Let me tell you what went really wrong.
Hari di mana orang-orang koran itu "turun lapangan" untuk meliput berita tersebut, itu adalah hari... um... hari apa ya itu? Pada hari itu aku sedang mengikuti semacam, hmm, entah lomba, entah workshop, pokoknya berbau "Inggris". Maksudnya, ya para peserta menggunakan bahasa Inggris. Aku ke sana bersama guru bahasa Inggrisku dan beberapa orang teman yang aku lupa siapa saja --" (banyak lupa kok ditulis!)

Memang momen itu nggak bisa kuingat banyak, tapi yang jelas berkesan adalah adanya sesi tanya jawab dengan walikota daerah tempat tinggalku, yang harus menggunakan bahasa Inggris. Karena sang walikota sibuk, setelah memberikan sambutan (you know, formality thingy...) juru bicaranya mengatakan kepada kami semua (para peserta dan pembimbingnya) bahwa beliau hanya akan menjawab tiga pertanyaan, beliau bilang kepada kami melalui mikrofonnya, "Tiga pertanyaan saja. SD satu, SMP satu, SMA satu". Kemudian kami yang ingin bertanya dipersilahkan mengangkat tangan.
Lalu terangkatlah tangan-tangan semi-agresif itu. Tadinya aku gak minat angkat tangan, wong udah rame gitu kan, rempong, gak tahu pula mau nanya apa, tapi guru bahasa Inggrisku memaksaku mengangkat tangan dan aku pun manut aja bagai kerbau dicocok hidung. Disaat aku mulai mengangkat tangan, ada anak SMA yang sudah diberi giliran untuk bertanya - jangan tanya dia tanya apa, aku gak ingat - sementara peserta-peserta lain yang masih menggebu-gebu menjemput kesempatan untuk bercakap langsung dengan sang walikota masih mengangkat tangan mereka (kecuali aku, aku tidak excited sama sekali he).

Polosnya, waktu itu aku salah mengartikan perkataan beliau yang "SD satu, SMP satu, SMA satu" itu. Aku mikirnya pertanyaan yang bakal diterima cuma dari SISWA SD 1, SISWA SMP 1, dan SISWA SMA 1. Ngerti gak? Kebetulan waktu itu aku bersekolah di SD 001, jadi aku otomatis mikir bahwa aku atau teman satu sekolahku yang bakalan ditunjuk, karena tadi beliau ngomongnya SD SATU. *plaaaak*

Pada akhirnya bukan aku atau teman satu sekolahku yang ditunjuk, melainkan anak dari SD lain... Dan pada saat itulah aku menyadari kalau GAK MUNGKIN DONG SI WALIKOTA ITU TAHU MANA AJA YANG ANAK SD 001. Lagian, diskriminasi amat kalau beneran terjadi. Kasihan yang dari SD lain dong.. :/ *menampar diri sendiri*

Lalu, sebelum sang walikota beranjak pergi dari ada orang-orang dari koran lokal yang mau memotret beliau. Nah, ternyata banyak (atau beberapa lah) yang ikut berfoto di sekeliling pak walikota, termasuk guru bahasa Inggrisku itu (ih norak ya ternyata kalau dipikir-pikir lagi... wkwk ampun bu).
Karena si guru itu membuat gestur tangan yang menyuruhku mendekat untuk ikutan foto, aku comply aja. Jadilah aku berjalan menuju belakang punggung si walikota, di sebelah guruku yang sudah standby dengan senyumnya menghadap kamera. Tapi yang bisa kulihat di hadapanku hanya hitamnya bagian punggung jas yang dikenakan sang walikota, dan aku sampai pada kesimpulan penting: untuk bisa tampak di foto, aku harus JINJIT. Nah, pas waktu itu, ada orang-orang lagi mau foto, jadi nyempil di pinggir-pinggir kerumunan, dan menyebabkan posisiku tambah mepet dengan guruku.

3...2...1... Cekrik!

Kemudian pak walikota buru-buru pergi dari venue tersebut.

I thought the picture will turn out just fine. I was smiling at the right time, standing on my toes at the exact moment, and nothing could go wrong.... right?

Wrong.

Waktu artikelnya keluar di koran, WEEEEEEEIIIIII ADA GAMBARKUUUU~ walaupun cuma nyempil dari belakang punggung si orang penting... yang penting kan udah pernah masuk ko- tunggu.
Ada yang gak beres.
Caption-nya.
Shite.
Ingat saat kukatakan di saat-saat terakhir mau foto posisiku mepet dengan guruku? Nah, di foto ini pun kebetulan kaki dan tanganku gak kelihatan, karena memang sudah pada dasarnya "nyempil", ditambah pula dengan kerumunan yang ikutan foto di samping-samping pak walikota yang menghalangi pandangan kameraman ke property badan lengkapku (eh apaan nih).
Jadilah captionnya: "...Tampak seorang anak yang tidak memiliki kaki dan tangan sedang digendong oleh ibunya ikut berfoto."

Like, SERIOUSLY? I freaking know that caption was about ME. Posisiku dan guruku dalam foto itu emang mengesankan kalau aku GAK PUNYA UPPER LIMB dan DIGENDONG. Yang kelihatan kepala thok! Apalagi orang-orang lain dalam foto itu tampak normal-normal aja, badannya gak pada ketutupan whatsoever.

But come on, TANPA KAKI DAN TANGAN? Kalau emang benar ada anak tanpa kaki dan tangan yang muncul dalam acara tersebut, tentunya dia bakal jadi bahan bagus untuk artikel tambahan, bukan? Tapi pada kenyataannya dalam artikel yang ada foto"ku" itu, sama sekali nggak ada membahas tentang keanehan atau spesialnya acara tersebut sehingga seorang anak dengan fisik setidaksempurna itu bela-belain datang ke sana...
Dan DIGENDONG IBUNYA? She's my teacher! Not my mother! Gila emang tuh koran, asumsinya ngawur banget. Ngawur sengawur-ngawurnya ngawur.

Memang itu hasil dari koran lokal yang nggak kredibel, tapi sempat bikin shock. Pengen marah dan menertawakan mereka yang mencetuskan caption tersebut di saat bersamaan.

Tapi pada intinya, yang tetap di benakku bukan perasaan marah atau perasaan pengen ketawa lagi. Sejak saat itulah aku mulai mempertanyakan media.


Dan cita-citaku untuk menjadi seorang jurnalis jadi terpatri waktu itu. Tentu saja untuk meliput hanya kebenaran semata sehingga orang tidak lagi terjebak dalam series of letter dan caption yang menjebak.


This way I've learned: Don't trust the media that easily.

No comments:

Post a Comment