Friday, February 28, 2014

Instagram++


Huah, setelah beberapa minggu mengarungi perjuangan tahap persiapan bersama, akhirnya tiba minggu-minggu waktu UTS. Besok Sabtu, saya sudah harus menghadapi UTS pertama dalam semester dua perkuliahan, sedangkan teman saya yang berkuliah di perguruan tinggi lain malah baru mau masuk. Padahal mestinya Sabtu itu hari libur, hari gak kuliah, hari beres-beres kamar kosan terus eksperimen masak… tetapi beberapa Sabtu bisa jadi berbeda dari wacana kegiatan di dalam kosan, seperti misalnya Sabtu dua minggu yang lalu.

Jam 8 pagi lewat sedikit, saya sudah bersiap meninggalkan kamar kosan tercinta… menuju kampus tercinta. Tentu saja dengan menumpang angkot ungu tercinta jurusan Cisitu-Tegallega. Sesampainya di lapangan parkir jurusan sipil (detail, detail…) saya bertemu dengan teman-teman satu unit yang sudah merencanakan perjalanan bersama. Yiha greeners! [confetti bertebaran] [mungutin serpihan confetti]

Jadi sebenarnya apa yang hendak saya lakukan pagi itu? Kami hendak melakukan perjalanan Instagram++! Bukan maksudnya foto-foto selfie terus dikasih filter sepia gitu, Instagram yang dimaksud di sini adalah akronim untuk acara “Inspirasi Wisata Program”. Unit yang saya ikuti ini adalah unit yang bergerak di bidang lingkungan, dan pada hari itu sebenarnya kami berencana untuk melihat dan (hopefully) belajar dari sebuah komunitas lingkungan yang ada di masyarakat sebuah kawasan di Bandung.

Jam 10 teng (gak teng banget sih) angkot jurusan Caheum-Ledeng yang kami tumpangi (alias carter) melaju menuju Jalan Laswi. Angin sepoi-sepoi dari jendela (yang notabene bercampur dengan asap knalpot kendaraan bermotor di jalan sekitar) menggantikan kepengapan udara yang sejak sejam lalu mendominasi suasana.

Yah… singkat cerita, kami akhirnya sampai di tempat tujuan: Jalan Laswi. Tepatnya sebuah gang kecil di Jalan Laswi, RW 11 Kelurahan Cibangkong. Setelah angkot parkir di sebuah lapangan yang ada di dalam gang tersebut, kami turun dan memasuki gang yang even lebih kecil lagi. Di sana kami menemui ibu-ibu yang sedang menganyam (?) kemasan kopi instan yang sudah dipotong-potong. Asumsi logis saya pertama tentu 
saja adalah “Ooh ini pasti komunitas yang dimaksud”.

Dari briefing (?) sebelum perjalanan, diceritakan bahwa komunitas yang kami kunjungi adalah komunitas masyarakat sadar lingkungan atau lebih kece dikenal sebagai…. [drum rolls]

Komunitas My Darling.

My Darling? Nama apaan tuh? Lagi-lagi menyentuh perakroniman, My Darling itu singkatan dari “Masyarakat Sadar Lingkungan”! Kalau googling keyword ini pasti bakal langsung menemukan informasi lebih lanjut – plus artikel-artikel yang lebih professional dari tulisan ini – mengenai komunitas masyarakat sadar lingkungan. Intinya adalah penanggulangan masalah sampah di kawasan komunitas tersebut berada.

Agenda perjalanan kami saat itu adalah melihat produksi biogas dan pemanfaatan (barang yang seharusnya menjadi) sampah untuk dijadikan benda yang berguna. Karena rombongan kami terdiri dari dua puluhan orang, dibagilah menjadi dua kelompok. Ketika satu kelompok melihat produksi biogas, kelompok satunya melihat proses pembuatan barang bekas menjadi benda yang memiliki nilai jual, kemudian kami akan bergiliran. Yah… you get my point.

Kelompok saya mendapat giliran pertama melihat produksi biogas. Tempatnya ternyata berada agak jauh dari rumah-tongkrongan-ibu-ibu-penganyam-bungkus-kopi-instan RW 11 tadi, jadi kami harus berjalan kaki beberapa lama untuk mencapainya. Menurutku malah waktu perjalanan kaki itu meliputi setengah dari total waktu kami di sana… tapi ini hanya asumsi kasar yang tidak penting. Abaikan saja.

Anyway, di tempat-yang-agak-jauh-dari-RW-11 itu kami disambut oleh warga sekitar yang kemudian bersedia memberi penjelasan mengenai biogas di sana dan menjawab pertanyaan dari kami. Di sebuah sudut gang di sana terdapat sebuah kotak – walaupun bentuknya tidak absolute kotak (?) – besar berwarna hijau. Alat tersebut adalah biodigester – namanya BioMethaGreen— yang mengolah sampah organik menjadi gas metan untuk digunakan untuk memasak. Keren banget ya.

Prosesnya gampang banget sebenarnya, tinggal masukkan sampah-sampah organik sebanyak 20 kg setiap harinya –emphasis on setiap hari— ke dalam lubang di atas alat tersebut, dicampur air dengan perbandingan 1:1. Ketentuan sampah organik yang dapat dimasukkan tidak begitu ketat, bahkan si ibu yang menjelaskan berkata bahwa bangkai tikus pun boleh masuk, asalkan tidak mengandung racun— alias tikus yang mati karena diracun— karena racun tersebut dapat membunuh bakteri di dalam alat sehingga prosesnya akan terhenti.

Sampah tersebut kemudian memasuki bagian dalam kotak tersebut yang volumenya besar. Di bagian kosong yang luas itu telah ditaruh kurang lebih 5 tong kotoran sapi dan bakteri yang sudah disemai sejak alat itu pertama kali dipasang. Guna kotoran sapi dan bakteri-bakteri itu tentu saja untuk memproses sampah menjadi gas metan. Setelah sampah dimasukkan perlu sekitar tiga hari untuk dapa menggunakan gas tersebut. Gas metan yang disalurkan akan melewati pipa overhead alias diposisikan di atas kepala menuju sebuah kompor yang hendak dibahanbakari (apa itu dibahanbakari -_-). Sebuah kompor? Sebuah?

Iya, sayangnya alat ini hanya dapat menghasilkan gas metan untuk satu buah kompor saja. Terlebih lagi, karena tekanan gas yang dihasilkan kecil, mereka harus menggunakan blower untuk menaikkan tekanan gas, dan blower ini perlu dicolokkan ke outlet listrik jadi untuk daerah yang sering mati lampu seperti Balikpapan alat ini masih perlu diperbaiki lagi huhu ._. Selain itu kompor tersebut juga harus disulut menggunakan pemantik api baru bisa menyala. Memang ditilik dari segi kepraktisannya, cara ini sedikit lebih repot ketimbang kompor yang tinggal ctek langsung nyala, tetapi ide penting dari so-called kerepotan ini adalah pengurangan limbah organik yang signifikan.

Sang ibu menjelaskan bahwa selama itu pengangkutan sampah tidak teratur, tidak setiap hari, dan sampah organik yang tertumpuk menghasilkan bau tidak sedap. Sejak adanya alat tersebut, setidaknya bau-bauan tersebut berkurang. Menurut penuturan beliau, sampah anorganik kalaupun tidak diangkut beberapa minggu pun tidak berbau apabila dipilah dengan baik dari sampah organik.

Yang mengagumkan sebenarnya usaha pihak yang persuasif kepada masyarakat untuk memilah sampah organik dan anorganik. Wong kita kadang-kadang saja masih mencampur sampah makanan dan kemasannya ketika membuang ke tempat sampah. Ajakan kepada masyarakat sana untuk memilah, katanya, memang tidak mudah. Setelah proses yang berkelanjutan barulah masyarakat mulai terbiasa...

Puas mendapatkan penjelasan dan sedikit demonstrasi, kami bertukar giliran dengan kelompok satunya. Kali ini kami kembali ke RW 11 pitstop pertama kami tadi, melihat proses penganyaman berbahan baku bungkus kopi instan… Di sana kami diajak masuk ke ruang tamu dan diperlihatkan cara membuat kerajinan dari kemasan-kemasan bekas. Kerajinan yang bisa dibuat salah duanya adalah dompet dan tas yang dibuat dari bungkus kopi instan dan kantong kresek… respectively.

Konsep dasar pembuatan dompetnya adalah penganyaman (atau meronce?). Bungkus-bungkus bekas kopi yang seragam – motifnya sama – digunting sedemikian rupa sehingga membentuk potongan kertas bungkus yang tipis dan panjang. Prosesnya terlalu panjang untuk orang yang tidak tekun seperti saya. Intinya, potongan-potongan bungkusan itu dililit dan disusun sedemikian rupa mengikuti pola tertentu, terus eng-ing-eng jadi aja gitu dompetnya. Entah memang ibu-ibu sana bawaannya terampil atau saya yang dungu buat hal semacam ini… ._. Setiap dompet dihargai sesuai bungkus yang jadi komponennya. Rata-rata dompet berharga Rp 20.000,- yang dibuat dari bungkus kopi kapal api atau abc white coffee (lho sebut merk -_-), terus kalau bungkus kopi good day yang teksturnya lembut –tekstur bungkusnya, bukan kopinya— harganya Rp 35.000,- karena jarang yang minum jenis itu, dan waktu kami berkunjung hanya ada dua buah yang sudah dibuat.

Buat kantong kresek model bikinnya lain lagi... Pertama kali lihat hasil pembuatan tas dan dompet dari kresek ini kami takjub. Ini bener dari kantong kresek? Kresek dilipat dulu memanjang untuk kemudian dipotong, terus kresek yang sudah dipotong ini nanti jadi istilahnya “benang” untuk dirajut. Ah, sebenarnya mendeskripsikan pembuatannya agak sulit… apalagi buatnya? Ngerajut aja saya nggak bisa… -_-
Awal mula inisiatif kegiatan ini terpercik saat salah satu anggota komunitas berkunjung ke sebuah pameran di daerah Buahbatu yang juga men­-display kerajinan dari barang-barang bekas. Si ibu kemudian mengajak orang-orang di sekitarnya, sesama ibu rumah tangga, untuk ikut berkarya. Awal-awalnya mereka agak kesulitan mengumpulkan bungkus bekas untuk diolah, namun sekarang akhirnya masyarakat lebih suportif dan bersedia menyuplai mereka. Bahkan bungkus kopi instannya dipotong dengan rapi menggunakan gunting dan tidak asal robek. Waaa….

Setelah sedikit berbincang-bincang sambil melihat demonstrasi kecil-kecilan, kami tahu bahwa motivasi utama semua ini awalnya bukan karena mereka idealis untuk menyelamatkan lingkungan, tapi lebih kepada mengisi waktu luang, apalagi ada nilai jualnya. Setelah beberapa lama ternyata kegiatan ini juga berkontribusi banyak kepada lingkungan karena menurut cerita si ibu, dulu daerah di sekitar situ banyak tumpukan sampah dan sangat sering banjir. Dengan berjalannya kegiatan tersebut untungnya juga banjir jadi berkurang.
Kumpul rutin mereka melakukan hal ini kira-kira jam 10 pagi sampai siang setiap hari selain hari Minggu. Katanya si ibu sih, begitu cucian dan bebersih rumah beres, dan ada waktu luang, kumpul-kumpul buat nganyam sambil berbincang.

“Begitu anak-anak udah dikasih makan pagi, udah berangkat kerja dan sekolah, sih mbak… Pokoknya suami sama anak udah diurus baru ini.”

Pokoknya family first gitu deh uuuu :’) jadi kangen ibu di rumah (?)

Mungkin pemikiran greeners lain beda sama saya saat mengunjungi rumah si ibu, tetapi bagian itu ngena banget. Saya jadi mikir kalo ibu-ibu itu memang awesome… Apa saya juga nanti bisa sehebat itu ya? I mean, gak hebat dalam arti idealis dan jadi pemimpin perusahaan besar atau punya duit banyak, tapi dengan konteks I have people I can be useful to and it keeps me going. Pokoknya sekarang saya harus balas budi dulu ke ibu dengan kuliah yang bener, walaupun udah jadi rahasia umum bahwa apapun yang kita lakukan untuk ibu gak akan pernah sepadan dengan apa yang ibu sudah lakukan ke kita. Duh jadi melantur…

Esensi dari perjalanan kali ini adalah betapa hebatnya orang-orang yang bergabung. Mereka yang kami kunjungi adalah sebuah “komunitas”, yang berarti ini bukan murni kehebatan satu orang semata. Mereka mau bekerja sama, mau support. Biodigester memang keren, eco-friendly, tapi bayangkan kalau cuma satu orang yang menggunakannya? Dengan frasa “satu orang yang menggunakannya” maksud saya adalah, berarti sampahnya sampah dari dia sendiri. Berarti dia harus nyampah organik 20 kg setiap hari? Ini gak memberikan solusi untuk pengurangan sampah, dong. Kerajinan barang bekas kalau cuma dilakukan sendiri, apa seru? Dengan bersama-sama setidaknya bisa mempererat hubungan kekeluargaan, dan barang yang dihasilkan juga semakin banyak sehingga keuntungan bisa makin besar.

Moral pribadi dari kegiatan kali ini adalah: ibu-ibu are awesome.