Huah, setelah beberapa minggu mengarungi perjuangan tahap
persiapan bersama, akhirnya tiba minggu-minggu waktu UTS. Besok Sabtu,
saya sudah harus menghadapi UTS pertama dalam semester dua perkuliahan,
sedangkan teman saya yang berkuliah di perguruan tinggi lain malah baru mau
masuk. Padahal mestinya Sabtu itu hari libur, hari gak kuliah, hari beres-beres kamar
kosan terus eksperimen masak… tetapi beberapa Sabtu bisa jadi berbeda dari
wacana kegiatan di dalam kosan, seperti misalnya Sabtu dua minggu yang lalu.
Jam 8 pagi lewat sedikit, saya sudah bersiap meninggalkan
kamar kosan tercinta… menuju kampus tercinta. Tentu saja dengan menumpang
angkot ungu tercinta jurusan Cisitu-Tegallega. Sesampainya di lapangan parkir
jurusan sipil (detail, detail…) saya bertemu dengan teman-teman satu unit yang
sudah merencanakan perjalanan bersama. Yiha greeners! [confetti bertebaran]
[mungutin serpihan confetti]
Jadi sebenarnya apa yang hendak saya lakukan pagi itu? Kami
hendak melakukan perjalanan Instagram++! Bukan maksudnya foto-foto selfie terus
dikasih filter sepia gitu, Instagram yang dimaksud di sini adalah akronim untuk
acara “Inspirasi Wisata Program”. Unit yang saya ikuti ini adalah unit yang
bergerak di bidang lingkungan, dan pada hari itu sebenarnya kami berencana
untuk melihat dan (hopefully) belajar
dari sebuah komunitas lingkungan yang ada di masyarakat sebuah kawasan di
Bandung.
Jam 10 teng (gak teng banget sih) angkot jurusan
Caheum-Ledeng yang kami tumpangi (alias carter)
melaju menuju Jalan Laswi. Angin sepoi-sepoi dari jendela (yang notabene
bercampur dengan asap knalpot kendaraan bermotor di jalan sekitar) menggantikan
kepengapan udara yang sejak sejam lalu mendominasi suasana.
Yah… singkat cerita, kami akhirnya sampai di tempat tujuan:
Jalan Laswi. Tepatnya sebuah gang kecil di Jalan Laswi, RW 11 Kelurahan
Cibangkong. Setelah angkot parkir di sebuah lapangan yang ada di dalam gang
tersebut, kami turun dan memasuki gang yang even
lebih kecil lagi. Di sana kami menemui ibu-ibu yang sedang menganyam (?)
kemasan kopi instan yang sudah dipotong-potong. Asumsi logis saya pertama tentu
saja adalah “Ooh ini pasti komunitas yang dimaksud”.
Dari briefing (?)
sebelum perjalanan, diceritakan bahwa komunitas yang kami kunjungi adalah
komunitas masyarakat sadar lingkungan atau lebih kece dikenal sebagai….
[drum rolls]
Komunitas My Darling.
My Darling? Nama
apaan tuh? Lagi-lagi menyentuh perakroniman, My Darling itu singkatan dari “Masyarakat
Sadar Lingkungan”! Kalau googling keyword ini pasti bakal langsung
menemukan informasi lebih lanjut – plus artikel-artikel yang lebih professional
dari tulisan ini – mengenai komunitas masyarakat sadar lingkungan. Intinya
adalah penanggulangan masalah sampah di kawasan komunitas tersebut berada.
Agenda perjalanan kami saat itu adalah melihat produksi biogas dan pemanfaatan (barang yang
seharusnya menjadi) sampah untuk dijadikan benda yang berguna. Karena rombongan
kami terdiri dari dua puluhan orang, dibagilah menjadi dua kelompok. Ketika
satu kelompok melihat produksi biogas, kelompok satunya melihat proses
pembuatan barang bekas menjadi benda yang memiliki nilai jual, kemudian kami
akan bergiliran. Yah… you get my point.
Kelompok saya mendapat giliran pertama melihat produksi biogas. Tempatnya ternyata berada agak
jauh dari rumah-tongkrongan-ibu-ibu-penganyam-bungkus-kopi-instan RW 11 tadi,
jadi kami harus berjalan kaki beberapa lama untuk mencapainya. Menurutku malah
waktu perjalanan kaki itu meliputi setengah dari total waktu kami di sana… tapi
ini hanya asumsi kasar yang tidak penting. Abaikan saja.
Anyway, di
tempat-yang-agak-jauh-dari-RW-11 itu kami disambut oleh warga sekitar yang
kemudian bersedia memberi penjelasan mengenai biogas di sana dan menjawab pertanyaan dari kami. Di sebuah sudut
gang di sana terdapat sebuah kotak – walaupun bentuknya tidak absolute kotak
(?) – besar berwarna hijau. Alat tersebut adalah biodigester – namanya BioMethaGreen—
yang mengolah sampah organik menjadi gas metan untuk digunakan untuk memasak.
Keren banget ya.
Prosesnya gampang banget sebenarnya, tinggal masukkan
sampah-sampah organik sebanyak 20 kg setiap harinya –emphasis on setiap hari— ke dalam lubang di atas alat tersebut,
dicampur air dengan perbandingan 1:1. Ketentuan sampah organik yang dapat
dimasukkan tidak begitu ketat, bahkan si ibu yang menjelaskan berkata bahwa
bangkai tikus pun boleh masuk, asalkan tidak mengandung racun— alias tikus yang
mati karena diracun— karena racun tersebut dapat membunuh bakteri di dalam alat
sehingga prosesnya akan terhenti.
Sampah tersebut kemudian memasuki bagian dalam kotak
tersebut yang volumenya besar. Di bagian kosong yang luas itu telah ditaruh
kurang lebih 5 tong kotoran sapi dan bakteri yang sudah disemai sejak alat itu
pertama kali dipasang. Guna kotoran sapi dan bakteri-bakteri itu tentu saja
untuk memproses sampah menjadi gas metan. Setelah sampah dimasukkan perlu
sekitar tiga hari untuk dapa menggunakan gas tersebut. Gas metan yang
disalurkan akan melewati pipa overhead
alias diposisikan di atas kepala menuju sebuah kompor yang hendak dibahanbakari
(apa itu dibahanbakari -_-). Sebuah kompor? Sebuah?
Iya, sayangnya alat ini hanya dapat menghasilkan gas metan
untuk satu buah kompor saja. Terlebih lagi, karena tekanan gas yang dihasilkan
kecil, mereka harus menggunakan blower
untuk menaikkan tekanan gas, dan blower ini
perlu dicolokkan ke outlet listrik
jadi untuk daerah yang sering mati lampu seperti Balikpapan alat ini masih
perlu diperbaiki lagi huhu ._. Selain itu kompor tersebut juga harus disulut
menggunakan pemantik api baru bisa menyala. Memang ditilik dari segi
kepraktisannya, cara ini sedikit lebih repot ketimbang kompor yang tinggal ctek langsung nyala, tetapi ide penting
dari so-called kerepotan ini adalah
pengurangan limbah organik yang signifikan.
Sang ibu menjelaskan bahwa selama itu pengangkutan sampah
tidak teratur, tidak setiap hari, dan sampah organik yang tertumpuk
menghasilkan bau tidak sedap. Sejak adanya alat tersebut, setidaknya bau-bauan
tersebut berkurang. Menurut penuturan beliau, sampah anorganik kalaupun tidak
diangkut beberapa minggu pun tidak berbau apabila dipilah dengan baik dari
sampah organik.
Yang mengagumkan sebenarnya usaha pihak yang persuasif
kepada masyarakat untuk memilah sampah organik dan anorganik. Wong kita kadang-kadang saja masih
mencampur sampah makanan dan kemasannya ketika membuang ke tempat sampah.
Ajakan kepada masyarakat sana untuk memilah, katanya, memang tidak mudah.
Setelah proses yang berkelanjutan barulah masyarakat mulai terbiasa...
Puas mendapatkan penjelasan dan sedikit demonstrasi, kami
bertukar giliran dengan kelompok satunya. Kali ini kami kembali ke RW 11 pitstop pertama kami tadi, melihat
proses penganyaman berbahan baku bungkus kopi instan… Di sana kami diajak masuk
ke ruang tamu dan diperlihatkan cara membuat kerajinan dari kemasan-kemasan
bekas. Kerajinan yang bisa dibuat salah duanya adalah dompet dan tas yang
dibuat dari bungkus kopi instan dan kantong kresek… respectively.
Konsep dasar pembuatan dompetnya adalah penganyaman (atau
meronce?). Bungkus-bungkus bekas kopi yang seragam – motifnya sama – digunting
sedemikian rupa sehingga membentuk potongan kertas bungkus yang tipis dan
panjang. Prosesnya terlalu panjang untuk orang yang tidak tekun seperti saya.
Intinya, potongan-potongan bungkusan itu dililit dan disusun sedemikian rupa
mengikuti pola tertentu, terus eng-ing-eng
jadi aja gitu dompetnya. Entah memang ibu-ibu sana bawaannya terampil atau saya
yang dungu buat hal semacam ini… ._. Setiap dompet dihargai sesuai bungkus yang
jadi komponennya. Rata-rata dompet berharga Rp 20.000,- yang dibuat dari
bungkus kopi kapal api atau abc white coffee (lho sebut merk -_-), terus kalau
bungkus kopi good day yang teksturnya
lembut –tekstur bungkusnya, bukan kopinya— harganya Rp 35.000,- karena jarang
yang minum jenis itu, dan waktu kami berkunjung hanya ada dua buah yang sudah
dibuat.
Buat kantong kresek model bikinnya lain lagi... Pertama kali
lihat hasil pembuatan tas dan dompet dari kresek ini kami takjub. Ini bener dari kantong kresek? Kresek
dilipat dulu memanjang untuk kemudian dipotong, terus kresek yang sudah
dipotong ini nanti jadi istilahnya “benang”
untuk dirajut. Ah, sebenarnya mendeskripsikan pembuatannya agak sulit…
apalagi buatnya? Ngerajut aja saya nggak bisa… -_-
Awal mula inisiatif kegiatan ini terpercik saat salah satu
anggota komunitas berkunjung ke sebuah pameran di daerah Buahbatu yang juga men-display kerajinan dari barang-barang
bekas. Si ibu kemudian mengajak orang-orang di sekitarnya, sesama ibu rumah
tangga, untuk ikut berkarya. Awal-awalnya mereka agak kesulitan mengumpulkan
bungkus bekas untuk diolah, namun sekarang akhirnya masyarakat lebih suportif
dan bersedia menyuplai mereka. Bahkan bungkus kopi instannya dipotong dengan
rapi menggunakan gunting dan tidak asal robek. Waaa….
Setelah sedikit berbincang-bincang sambil melihat
demonstrasi kecil-kecilan, kami tahu bahwa motivasi utama semua ini awalnya
bukan karena mereka idealis untuk menyelamatkan lingkungan, tapi lebih kepada mengisi
waktu luang, apalagi ada nilai jualnya. Setelah beberapa lama ternyata kegiatan
ini juga berkontribusi banyak kepada lingkungan karena menurut cerita si ibu, dulu
daerah di sekitar situ banyak tumpukan sampah dan sangat sering banjir. Dengan
berjalannya kegiatan tersebut untungnya juga banjir jadi berkurang.
Kumpul rutin mereka melakukan hal ini kira-kira jam 10 pagi
sampai siang setiap hari selain hari Minggu. Katanya si ibu sih, begitu cucian
dan bebersih rumah beres, dan ada waktu luang, kumpul-kumpul buat nganyam
sambil berbincang.
“Begitu anak-anak udah dikasih makan pagi, udah berangkat
kerja dan sekolah, sih mbak… Pokoknya suami sama anak udah diurus baru ini.”
Pokoknya family first gitu
deh uuuu :’) jadi kangen ibu di rumah (?)
Mungkin pemikiran greeners
lain beda sama saya saat mengunjungi rumah si ibu, tetapi bagian itu ngena
banget. Saya jadi mikir kalo ibu-ibu itu memang awesome… Apa saya juga nanti bisa sehebat itu ya? I mean, gak hebat dalam arti idealis dan
jadi pemimpin perusahaan besar atau punya duit banyak, tapi dengan konteks I have people I can be useful to and it keeps
me going. Pokoknya sekarang saya harus balas budi dulu ke ibu dengan kuliah
yang bener, walaupun udah jadi rahasia umum bahwa apapun yang kita lakukan
untuk ibu gak akan pernah sepadan dengan apa yang ibu sudah lakukan ke kita. Duh
jadi melantur…
Esensi dari perjalanan kali ini adalah betapa hebatnya
orang-orang yang bergabung. Mereka yang kami kunjungi adalah sebuah “komunitas”,
yang berarti ini bukan murni kehebatan satu orang semata. Mereka mau bekerja
sama, mau support. Biodigester memang
keren, eco-friendly, tapi bayangkan
kalau cuma satu orang yang menggunakannya? Dengan frasa “satu orang yang
menggunakannya” maksud saya adalah, berarti sampahnya sampah dari dia sendiri.
Berarti dia harus nyampah organik 20
kg setiap hari? Ini gak memberikan solusi untuk pengurangan sampah, dong. Kerajinan
barang bekas kalau cuma dilakukan sendiri, apa seru? Dengan bersama-sama
setidaknya bisa mempererat hubungan kekeluargaan, dan barang yang dihasilkan
juga semakin banyak sehingga keuntungan bisa makin besar.
Moral pribadi dari kegiatan kali ini adalah: ibu-ibu are awesome.
No comments:
Post a Comment