Tuesday, October 25, 2022

Elizac

Menulis itu seperti pup di pagi hari. 

Kadangkala ia sulit keluar (idenya), terkadang keluar dengan begitu alami. Ada hari-hari di mana rasa malas mengalahkan keinginan beranjak menuju tempat berkegiatan (bisa WC bisa depan komputer), tapi ada juga hari di mana hal itu adalah yang pertama ingin dilakukan saat bangun tidur. Sama-sama optimal dilakukan setelah minum kopi di pagi hari, dan sama-sama meningkatkan mood sebagai pengantar hari. 

Rasanya ada saja yang kurang kalau belum melakukannya.

Jadi... uh... apa yang mau kutulis ya.

Anggap saja tulisan ini sebuah eksp(k)resi verbal atas ketidakmampuanku untuk berkomunikasi secara sehat selama beberapa minggu ini, baik kepada orang lain maupun terhadap diriku sendiri. Rasanya aku seperti kembali jatuh ke kehampaan dan kesendirian yang bahkan sulit untuk diceritakan... karena rasanya seperti... bukan hal yang besar, begitu?

Ketika berbicara mengenai dark place, yang terbayang selalu sesuatu seperti... kesedihan mendalam, suasana tonal berwarna gelap, atau hari-hari dimana kesialan menghantui. Tapi seringkali tidak begitu denganku. Aku masih tergerak untuk mencuci bajuku, membeli makan, berbicara dengan orang lain, dan tidak ada kesialan berarti yang terjadi padaku.

Semesta ramah terhadapku, dan orang-orang di sekitarku amatlah baik. Tapi mengapa aku tetap sedih? Tidak masuk akal.

Bukankah hukum fisika klasik menyatakan bahwa ada reaksi untuk setiap aksi? Namun mengapa terkadang aku bereaksi tidak sesuai aksi, sementara di lain waktu aku tidak ingin bereaksi terhadap aksi yang dikenakan padaku? Apakah pada kasus pertama reaksi itu muncul dengan terlambat sebagai akumulasi dari aksi-aksi yang telah berlalu? Apakah pada kasus kedua reaksi itu belum muncul karena memang aku lamban dan akan meledak suatu waktu di masa yang akan datang? Apakah memang ada anomali yang membuatku tidak bereaksi sesuai dengan hukum fisika?

Atau memang aku tidak bisa menggunakan model fisika klasik untuk menjelaskan psikologi diri ini?

Suatu hari, aku pernah berada dalam kehampaan. Sepertinya sudah beberapa hari itu aku menjalani rutinitas dengan acuh, tidak ada semangat, seperti berada dalam gelembung. Aku hendak membuat kopi seperti yang selalu kulakukan setiap pagi. Merebus air di ketel, membuka toples isi bubuk kopi, dan menaruhnya ke dalam mug kesayangan. Bengong, mungkin itu yang aku lakukan, karena tanganku tiba-tiba selip dan mug-ku jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping. Dalam proses itu pula, bubuk kopi tumpah, menempel di sela-sela lantai dan sedikit di kaki meja.

Aku tertawa. Bukan tawa kering, atau tawa yang menutupi kesedihan atau shock. Aku tertawa karena aku senang, ada sesuatu yang terjadi dalam hidupku. Mau tidak mau aku harus memungut pecahan mug itu satu persatu, menyapu serpihan-serpihan yang tersisa, serta mengelap lantai dan meja dari sisa-sisa bubuk kopi yang menempel.

Seperti menemukan sebuah purpose. Sebuah goal. Kalau itu video game, mungkin akan muncul jendela yang menyatakan Objective: Clean the mess.

Aneh. Mug pecah kok senang.

Di sisi lain, adanya acara besar dimana aku seharusnya berbahagia (seperti kemarin saat aku wisuda), aku malah... merasa hampa. Sendiri. Kosong. Aku di sana, tapi aku tidak di sana. The whole thing feels like a fever dream. Seolah aku adalah pengamat non-parsial yang tidak ada makna atau kepentingan berada di situ. Ada atau tidak ada aku sama saja. Orang-orang terlihat bangga, bahagia, berfoto-foto dan berbagi momen dengan teman-teman dan keluarga mereka. Tentu saja aku senang membanggakan orangtuaku, tapi apa aku sendiri bangga dengan pencapaian ini?

Hanya tersenyum dan duduk manis, berusaha keras menjadi bagian dari acara sosial ini. Bertepuk tangan di saat yang pantas. Berfoto di booth yang disediakan. Lalu bagaimana? Kenapa aku tidak "gembira"? Apakah aku tidak "bahagia" dengan pencapaianku? Atau mungkin memang aku hanya tidak cocok ditempatkan di acara sosial dengan orang sebanyak itu?

Di satu titik, aku merasa kesal dengan diriku sendiri karena tidak mampu untuk jujur. Kadang aku iri dengan orang-orang yang dapat dengan cepat mengatakan apa yang mereka rasakan. Bisa saja dalam kasus ini aku tidak senang berada di keramaian seperti itu, acara formalitas seperti itu, tapi aku tidak bisa jujur. Aku tidak bisa langsung mengakui, "ah bosan nih". I will try to force myself to like it.

Tapi, siapa sih yang peduli kalau aku bosan atau tidak? Toh aku tetap akan berada di sana dan menjadi pengikut yang baik.

I think I'm gonna need that E today.