Sunday, October 15, 2017

Insomniac.

Aku tak bisa tidur, pikirku galau. iPod-ku masih melantunkan lagu pelan dari daftar putar "Sleep" Spotify, volume sedang, dan seharusnya dapat membuatku tertidur. Tetapi aku masih mendengarnya. Suara gemerisik. Dari atas atap. Dari lantai bawah. Dari tali jemuran di luar.

Kamar bisa menjadi tiba-tiba dingin. Aku tinggal di lantai dua yang jendelanya dapat dibuka dan langsung diterpa angin. Jam 2 sampai jam 6 adalah jam-jam kritis untuk jari-jari kakiku. Dan telingaku. Aku mendengar suara angin dan atap seperti kejatuhan sesuatu. Telapak kakiku dingin dan mati rasa.

Ada sensasi yang tidak bisa dijelaskan ketika kamu terlalu sering bangun malam. Dini hari bisa menjadi sangat familiar, sepi dan nyaman untuk berkonsentrasi. Di satu sisi, itu terlalu sepi dan menjadi sangat asing. Aku selalu menjadi sangat sensitif pada suara, pada temperatur, pada bau. Terkadang aku harus berpegangan pada sesuatu untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa aku benar sedang bangun. Aku benar-benar mencium sesuatu, merasakan dinginnya angin, atau mendengar bunyi gemerisik yang nyata.

Aku akan mendengar suara seperti orang berbicara, atau berbisik, di lantai bawah, dan aku akan turun. Aku membawa gelas sekaligus untuk mengambil minum, sambil melingkupkan diriku pada selimut yang hangat. Aku mendapati suara nyanyian dari satu kamar di lantai bawah, dan merasa lega karena aku tahu aku tidak gila, dan aku benar mendengar sesuatu.

Aku tidak keberatan dengan chat tengah malam atau dini hari, karena keberadaan seseorang membantuku berpegangan pada kenyataan bahwa aku terbangun, aku mampu bercakap-cakap dan merangkai kalimat secara koheren. Kau tidak bisa yakin akan hal itu ketika bermimpi.

Kau tahu meja kecil yang biasa dibawa anak-anak saat lomba mewarnai? Aku memiliki satu, yang kugantung agar rapi di gantungan tempel di samping meja belajarku, hanya lima senti dari permukaan lantai. Jam 2 pagi, ia terjatuh dan menyadarkanku dari keadaan setengah tidur. Aku tertawa kering dan merasa bodoh. Tiga jam kemudian aku tertidur lelap.

Selalu saja begini. Aku sudah siap tertidur, daftar putar musik menenangkan di iPod pun sudah disetel, walaupun aku masih sulit tertidur dan sudah sejam aku menanti dewi tidur mendatangiku. Aku mendengar suara tempat sampah di depan terjatuh. Terjatuh mungkin bukan kata yang tepat. Dijatuhkan lebih tepat. Bukannya dewi tidur yang datang, malah makhluk kelaparan. Aku mengeluarkan wadah kecil berisi makanan kucing yang tersisa dan menaruhnya di dekat tempat sampah. Kucing liar itu langsung melompat dari tempat sampah dan terdiam di atas pinggiran jemuran menatapku. Aku kembali masuk ke kamar. Aku tertidur lima jam kemudian, setelah menonton beberapa episode anime, menggenjreng gitar dan bernyanyi sumbang.

Aku tak bisa tidur, keluhku pada teman-temanku. Tapi aku pernah berada dalam keadaan seperti ini, beberapa bulan lalu, beberapa tahun lalu. Aku pikir aku pernah menceritakan hal ini di dalam blog. Beberapa minggu penuh ketidakjelasan waktu tidur, dan entah bagaimana lingkaran setan itu berakhir, terlupakan begitu saja. Aku tak pernah ingat kapan siklus kebobrokan jadwal tidur ini dimulai, dan kapan ia tiba-tiba berakhir. Yang jelas saat ini aku sedang berada di dalamnya.

Aku tahu kenapa aku tidak bisa tidur. Aku tahu aku tidak bisa tidur karena aku terlalu banyak memikirkan hal yang tidak dapat kukendalikan, terlalu banyak memikirkan hal yang dapat kukendalikan namun tidak kulakukan, terlalu banyak berpikir, itu yang jelas. Aku tidak bisa menghentikan pikiran-pikiran akan hal-hal buruk yang telah terjadi padaku, pikiran-pikiran seandainya aku melakukan hal yang berbeda dulu, pikiran-pikiran di mana aku dapat menjadi pribadi yang lebih baik dibanding sekarang seandainya dulu aku melakukan hal yang berbeda.

The redundancy of overthinking.

Aku tahu kenapa aku tidak bisa tidur. Aku tidak bisa tidur karena romantisasi insomnia. Aku suka memberitahu kalian kalau aku tidak bisa tidur malam. Aku nocturnal. Aku spesial, aku tidak fungsional, aku aneh. Aku mendengarkan daftar putar lo-fi hiphop dengan ambience midnight karena terdengar keren. Aku membayangkan diriku seperti protagonis dalam cerita Haruki Murakami, menjelajah dinginnya malam dengan jaket dan syal, mendengarkan musik dari iPodnya, mendatangi kafe 24 jam untuk membaca buku dan menyeruput cappuccino panas sembari menghindari kenyataan hidup dan berteman dengan krisis eksistensial.

Aku akan terbangun esok hari pukul 2 siang, menuang diriku semangkuk corn flakes dan segelas teh stroberi, kemudian bertanya-tanya apakah malam tanpa tidur ini akan terulang lagi esok hari. Tanpa tempat untuk dituju, tanpa hal untuk dilakukan, mempertanyakan hal-hal yang tidak penting sangatlah mudah. The privilege of being idle.


Apa kisahmu malam ini, kawan?

No comments:

Post a Comment