Saturday, May 7, 2016

Nasya Is Not A Person

...kebohongan yang terus aku lantunkan dalam hati setiap kali ia mengucap nama itu. No, not a person. I can't be jealous. I can't look jealous. Aku menganggapnya seperti nama sayang untuk suatu objek yang disukainya. Mungkin mobil? Tapi ia tidak punya mobil.... Motornya, mungkin? Bukan, aku tahu ia menamai motornya dengan nama lain... Kapalnya? Kapal? Oh my God, listen to yourself. 

Bagaimana mungkin kau bisa membohongi diri sendiri? Ceritamu tidak konsisten, tidak lengkap. Bahkan pondasi dari kebohongan itu tidak meyakinkan. Nasya bukan orang? Lalu apa? Kau bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

Terlebih lagi, ia selalu menjabarkan nama itu dengan menggunakan diksi yang jelas-jelas ditujukan untuk manusia. Mana mungkin kau berkata bahwa kau akan kencan dengan sebuah mobil di BIP? Absurd.

"Hei,"

Aku menengok dari cangkir kopiku.

"Kau mendengarkanku?"

Aku tidak bisa berbohong. Aku menggeleng sambil tertawa garing, "Ah, maaf, aku baru saja teringat sesuatu."

"Ada apa? Ceritakanlah. Aku juga bakal bosan kalau harus mendengarkan diriku mengoceh terus." Ujarnya sambil meneguk latte karamel dari cangkir putihnya, serupa dengan yang sedang aku genggam di atas meja.

"Aku kepikiran ide cerita di mana orang-orang bisa menikah dengan motor mereka." Well, I had to make something up right?

Dia terpana selama beberapa detik sebelum tertawa, "Creepy."

I know, I am.

----

Aku tak tahu mengapa aku harus mengarang cerita seaneh itu. Benar, aku memang mengambil ide dimana ia bisa menikah dengan Nasya, dicampur dengan pemikiran bahwa Nasya bisa jadi nama untuk motornya, tapi menyatukan keduanya menjadi ide cerita sungguh absurd. Aku tak seharusnya dilepas ke jalan, ke dunia luar.

Aku seharusnya hanya mendekam di rumah, bertahan hidup dengan tiga dus roti dan selai kacang, ditemani ide-ide gila dari kepalaku semata. Tidak ada yang perlu tahu isi pikiranku.

Gerimis di luar mulai mereda. Melihat isi cangkir kopi kami berdua, ditambah menilai aliran percakapan yang tampak lebih menjaga jarak setelah pengakuan ide cerita tadi, aku tahu ia sudah lebih dari siap untuk pergi meninggalkan tempat ini.

Meninggalkanku.

Drama sekali, Tar. Bravo. Dia hanya akan menemui Nasya di mall beberapa kilo dari sini, ditambah lagi kau masih bisa mengiriminya pesan jika ingin mengobrol. It's not like he's going away to marry a girl in some tropic island and forget all about you. Pikirku getir. They might.... Pikirku lagi. Bahkan aku masih bisa bercakap dengan diri sendiri. 

"Hujannya reda," ujarnya setelah menatap keluar. Ia mengambil smartphone-nya dari atas meja dan mengetik sesuatu, "Kayaknya aku mesti pergi sekarang, deh."

I bet you're thrilled to. Pikirku. Tapi aku tidak mengatakan apapun.

"Makasih ya traktirannya. You're cool, man.

Aku hanya tertawa kecil sembari menjawab, "No problem."

----

Well, guess what brain, he's not coming back.

Aku tidak pernah mendapatinya berada di sekitar kafe itu lagi. Aku masih sering mengunjungi kafe itu, masih sering memesan latte karamel, green tea dengan espresso shot, masih sering duduk memandangi langit ketika hujan turun.

Masih sering berharap dia muncul dan mengajakku mengobrol.

But it never happened anymore.

Aku hanya bisa mengatakan ini ketika aku menulis. Aku tidak dikenal sebagai orang yang affectionate oleh teman-temanku. Hell, they sometimes told me that I'm really cold and insensitive. But this is a side of me they would never find out, if they're not fond of reading.

Contrary to popular belief, I'm a highly sentimental person.

But I can never say that to anyone. I have to maintain my image and such. Feels are so gay.

The last time I talked about similar feeling was years ago. My friend dismissed my story with a brush of "dude, I didn't know you're such a girl."

Aku hampir saja menumpahkan cangkir panas flat white-ku ketika wajahnya tiba-tiba muncul di bingkai pintu utama kafe. Hari itu bahkan tidak hujan, dan pikiranku berhalusinasi sejauh itu?
...tapi itu bukan halusinasi. Aku belum gila. 

"Hey," ia menyapa pelan.

"Hei! Ada angin apa nih?" tanyaku sambil menaruh cangkir kembali ke tatakannya. Aku punya tiga detik untuk menentukan suatu hal penting. Should I go for a hug? Should I stand up to hug him or shake his hand? Dammit.

"Tak ada apa-apa." Ia langsung duduk di kursi di depanku. Oh good. I don't have to stand up.

Perempuan yang baru saja memesan minuman di kasir berjalan ke arah kami dan duduk di kursi di sampingnya. Di depanku. 

"Kenalkan, ini Nasya." Katanya sambil menepuk punggung perempuan tersebut. Aku terpana sesaat sambil mengamati perempuan di hadapanku. Rambutnya lurus panjang, terurai indah, dengan sedikit ikal di bagian telinga. Bulu matanya lentik, dan kedua bola matanya menatapku dengan tatapan penasaran. Ia memiliki aura cantik alami, dengan kepolosan yang tampak tidak kalah alami.

Aku tak tahu aku harus merasa cemburu dengannya, atau dengan 'teman'ku.

"Nasya," Ia tersenyum sambil mengulurkan tangan.

Akhirnya aku bertemu dengannya. Saat aku menggenggam tangan kanannya yang dingin dan mengucap namaku, aku tahu...

Ini adalah perpisahan.



Bandung, 7 Mei 2016


Taruna who still wants that coffee.

1 comment:

  1. postingannya rasa nano-nano >_<

    oke, bukan berarti aku pernah makan postingannya ya -o- hahaha
    #garingbetmbak

    ReplyDelete