Sunday, December 7, 2014

Payung Hijau Kusut Kesayanganku

Sesuai janjiku dalam postingan sebelumnya, aku memutuskan untuk menulis lagi...


Pagi itu hujan turun dengan deras. Pukul sepuluh seharusnya sudah waktunya sinar matahari mulai unjuk gigi dengan radiasi elektromagnetisnya, tetapi tirai butiran air dan awan gelap yang menggantung di atasnya menutupi sang mentari. Aku memakluminya, bahkan sudah mengantisipasinya. Bukan hanya maklum, aku cukup menyukai hujan, sebenarnya.

Apa daya, karena tubuh yang lemah ini aku tidak dapat langsung menikmati curahan langit yang datang bertaburan itu. Kukeluarkan payung kecil dari tasku dan membukanya, perlahan-lahan menjajaki tanah yang basah dan berada di luar lingkup atap gedung yang kusinggahi untuk berteduh tadi. Kusampirkan tudungnya di atas kepalaku, yah, seperti bagaimana orang menggunakan payung untuk melindungi tubuh mereka dari hujan.

Aku berjalan menapaki tanah yang licin dan basah dengan hati-hati, hanya beberapa kaki menuju jalan beraspal yang lebih tidak licin. Tidak banyak orang berlalu-lalang pagi itu. Tentu saja, selain karena hujan yang deras, hari itu adalah hari libur. Sepantasnyalah lebih banyak orang yang memilih mendekam di kamar mereka yang hangat. Tetapi aku ingin berjalan-jalan.

Aku berjalan dan berjalan. Aku menginjak lumpur, aku membasahi sepatuku dan sedikit bagian dalam kaus kakiku. Aku menggenggam gagang payung dan menggigil. Aku berjalan dan kedinginan.

Setelah sekian lama berjalan, aku putuskan untuk mengunjungi kafe kecil langgananku yang terletak di jalan utama Kota Bandung itu. Hari libur, memang, tetapi hujan, dan tidak semacet biasanya. Kafe kecil itu tidak memiliki tempat parkir yang luas untuk mobil-mobil, jadi kau bisa mengasumsikan bahwa yang datang ke tempat itu adalah pengguna motor, atau pejalan kaki yang menyukai cita rasa bersahaja - yap, sepertiku. Ha.

Di depan kafe itu terdapat kanopi yang tak kalah kecil. Seharusnya aku tahu, saat hujan begini akan banyak yang menumpang untuk berteduh. Mungkin saja mereka sempat memutuskan untuk mampir dan memanjakan diri dengan menu yang ada, daripada kedinginan di luar tanpa kepastian akan kapan redanya hujan, thus meramaikan kafe dan tidak menyisakan tempat duduk untukku. By the time you read this, kanopi kafe itu sudah ada dalam jarak pandangku.

Aku salah. Tidak banyak orang yang berteduh di depan sana. Hanya ada tiga orang, yang tampaknya tidak saling mengenal. Satu orang bapak-bapak paruh baya yang mengenakan jaket berbahan parasut tahan air, sedang merokok dengan muka masam, seorang perempuan dengan hak tinggi yang mengenakan blus dan rok pendek yang berwarna senada dan riasan wajah yang signifikan, tampaknya akan berangkat kerja namun terhalang hujan, dan satu lagi seorang lelaki yang tampak seumuran denganku...

...dengan wajah dan jaket yang tampak familiar

...menggenggam smartphone yang tampak tidak kalah familiar.

Aku menaikkan alis, masih berjalan. Siapa tahu mataku menipuku. jalan... jalan... nope. mataku baik-baik saja. Aku mengenalnya.

Aku...

Rintik hujan masih turun dengan derasnya. Si lelaku-seumuran-denganku kebagian tempat berteduh paling pinggir, dan dari sepatu dan bagian bawah celana panjangnya, my brain ignited a second thought. Aku berhenti di sampingnya dan menghadap ke jalanan, ke arah mereka semua menghadap, seolah-olah hendak ikut berteduh. Kuposisikan payung untuk juga melindungi kepalanya, masih dengan wajah datar seolah tidak tahu.

Aku juga akan bertanya-tanya kalau tiba-tiba ada orang asing yang berteduh di sampingku dengan jarak yang bisa dikatakan personal space intruding. Ia menoleh dari telepon genggamnya, menilik ke arahku. Aku hanya tersenyum simpul, masih memandangi tirai hujan. "Hei," sapaku.

"Oh... hei." Dia tampak terkejut dan lega di saat bersamaan.

"Sedang apa di sini?" Aku bertanya, masih memandangi tirai hujan.

"Aku ada janji dengan seseorang, tapi karena hujan aku berteduh dulu." Jawabnya sambil mengetik sesuatu di teleponnya.

"Oooh, janjian dimana?" Pertanyaan 'siapa' hampir terselip, tetapi aku punya firasat aku tahu jawabannya.

"Di BIP," jawabnya datar, "duh..."

"Kenapa?"

"Katanya, kalau hujannya masih deras sejam lagi, lebih baik dibatalkan saja..."

"Siapa, sih?" Akhirnya terlontar juga pertanyaan itu.

"Nasya..." damn, I knew it.

"Well..." ujarku perlahan, hampir berbisik, apalagi ditelan suara jatuhnya rintik hujan, Aku berdehem pelan, berusaha tidak terdengar, dan melanjutkan dengan suara lebih keras, "You have one hour to spare. Mampir saja ke kafe ini."

"Kafe ini?" jempolnya menunjuk ke pintu kaca kafe di belakangnya.

"Yep."

"Kamu kerja di sini?" Aku baru sadar nada dan kalimatku seolah-olah mengindikasikan bahwa aku akan mendapatkan sesuatu bila aku berhasil mengajaknya masuk. Well... I will get something anyway.

"Gak, gak, cuma kafe langganan aja kok kalo lagi banyak duit." Jawabku setelah tertawa kecil.

"Oh... jadi lagi banyak duit nih?" Ia tersenyum sambil menaikkan alis. Kau tahu ketika pikiranmu berteriak "please don't do that thing that makes me powerless but please do that always because it's so adorable"? Rasanya saat itu aku mati-matian memasang wajah poker karena aku tidak tahu ekspresi wajah seperti apa yang appropriate untuk pemikiran itu.

"Hmm... gimana ya..." Aku balas tersenyum, sok misterius.

"Akui sajalah." Untuk semenit itu ia melupakan teleponnya, meski ia masih menggenggamnya, dan aku merasa senang.

"Yah, kau menang. Aku memang sedang banyak duit."

"Yes!"

"Masuklah, kutraktir kau latte karamel, atau yang seharga." Aku menurunkan payungku dan menutupnya, berbalik menuju pintu masuk kafe yang lengang itu.

"Benar?" Ia tampak terkejut.

"Yeah, why not," Aku mengedikkan bahu sambil melipat payung, "daripada kamu kedinginan di luar. Kalau udah reda atau cerah kan tinggal cabut."

Ia tampak mempertimbangkannya selama beberapa detik sebelum mengikutiku masuk.

"Kau ingin latte karamel atau yang lain?" tanyaku.

"Latte karamel saja, thanks."

Seseorang yang tampaknya mahasiswi berada satu baris di depanku, sedang memesan di kasir. "Duduklah duluan. Let me handle the order." Ujarku kepada lelaki itu. Setelah ia duduk dan si mahasiswi selesai dengan pesanannya, barista kafe perempuan berambut pendek yang sudah kukenal baik itu menyapaku ramah dan menanyakan pesananku.

"Green tea latte dengan espresso shot seperti biasa, mas Taruna?" Aku tersenyum. Ia tidak punya kewajiban mengingatku, tetapi dia ingat. "Ya, mbak Ina, Sama tambahan caramel latte panas satu, ya."

"Buat temannya ya, mas? Kirain mau diminum sendirian. Hehe." Aku menelan ludah pada kata 'teman' yang ia lontarkan. Sebenarnya aku lebih sebal karena ia menganggap memesan dua minuman untuk seorang diri sebagai lelucon.

"..Ya." Aku menjawab, pendek dan pelan, sambil tersenyum untuk mengapresiasi usahanya melucu. Mungkin judul cerpen ini seharusnya "Aku Sebel sama Mbak Ina".

"Semuanya jadi [masukkan harga kafe disini]." Aku menyodorkan uang pas. "Duduk aja ya mas, pesanannya nanti diantar saja. Spesial buat mas karena udah sering nongkrong disini." Ujarnya dengan lebih ceria.

Aku gajadi sebel sama Mbak Ina.

Aku berjalan menuju tempat duduk yang dipilih oleh 'teman'ku itu. Ia memilih tempat berkapasitas dua orang di pojok. Aku maklum. Doesn't mean anything, aku meyakinkan diriku sendiri. Aku duduk dan melirik jendela. Hujan masih deras dan belum ada tanda-tanda akan berhenti.

Dalam hati aku tersenyum. Panggil aku brengsek, tetapi aku tidak ingin hujan ini berhenti. Not in an hour, not ever. Well, mungkin sampai sore saja karena aku harus segera pulang dan mengerjakan laporan praktikum, but you get my point.

He's not leaving anytime soon.

Satu lagi alasan untuk menyukai hujan.




Bandung, 7 Desember 2014
1.05 WIB

Dari Taruna, yang menunggumu.

No comments:

Post a Comment