Monday, December 8, 2014

Since It's Raining and Dark Outside, I Figure It's a Good Time to Lie

Gelap. Semua gelap. Aku tidak bisa melihat apapun. Aku sudah membuka mata, namun sia-sia. Sekelilingku gelap. Dan sunyi.

Hal terakhir yang kuingat adalah bunyi hujan yang deras di luar kamarku, dan aku terbaring lelap setelah menggosok gigi. Buku yang biasa kubaca sebelum tidur kuabaikan malam itu. Sekarang aku terbangun tanpa mengetahui dimana aku berada. Kasurku yang empuk sudah tidak lagi kurasakan, digantikan dengan papan yang keras tanpa alas kepala.

Aku mencoba duduk, tetapi tidak bisa. Ada sesuatu yang membuatku tidak berdaya, membuatku beku dan tak berkutik. Aku takut. Aku mencoba menarik napas, mungkin saja ini hanya satu dari banyak mimpi buruk yang kualami. Kutenangkan diriku, menutup kedua kelopak mataku. Kalau aku tidak bisa beranjak, may as well tidur saja lagi...

--

"Kamu akan baik-baik saja," ujarku santai di telepon.

"Ya, tapi..." ia terdengar sedang menghela napas sedih di ujung sana. Ceritanya mengenai mimpi buruknya sudah tiga kali sampai di telingaku. Aku tidak percaya kebetulan, tapi terlalu superstitious juga berbahaya, "..kau tidak percaya itu kan?"

"Apa maksudmu? Mungkin saja itu tidak berarti apapun..." aku terdiam sejenak, "..mungkin juga ada artinya, tapi jangan terlalu dipikirkan. Terlalu khawatir akan membuatmu stress."

"Aku tahu, tapi rasanya bayang-bayangnya masih mengganggu pikiranku." 

"Cobalah bertahan beberapa hari lagi dengan teh kamomil sebelum tidur."

"Gak nyambung deh, Nad," dia tertawa kecil "lagipula kau tahu aku gak suka teh."

"Kuharap kau tidak mempertimbangkan konsultasi ke 'orang pinter' soal ini." Aku menghalau topik ini lebih serius.

"Ya ampun, itu sih..." dia terdiam, "..semoga saja malam ini tidak mimpi lagi."

"Astaga, kau mempertimbangkannya?" Aku tertawa, "Berdoalah, Kis. Aku juga akan mendoakanmu dari sini."

"Nad..." suaranya berubah, lebih berat. Terdiam lagi sejenak. Kemudian ia melanjutkan, "kau yang aku khawatirkan."

Giliran aku yang terdiam.

--

Lorong itu sempit dan gelap. Aku berjalan, kakiku mengomando gerakanku seolah memiliki radar penglihatannya sendiri. Setelah beberapa saat berjalan aku melihat cahaya di ujung lorong, lurus saja di depanku.

Kemudian cahaya itu hilang. Lalu muncul lagi. Berkedip-kedip menggoda. Aku mulai berlari, sedikit panik. Tak kutahu kapan cahaya itu akan menghilang secara permanen, aku memutuskan untuk tidak menunggunya. Aku berlari, tempo langkah kakiku meningkat seiring dengan meningkatnya ritme terang-gelap di ujung lorong.

..sedikit lagi... pikirku.

Akhirnya aku sampai di ujung lorong, tetapi...

...cahaya itu menghilang. Aku terduduk lemas, tak tahu arah dan apa yang harus kulakukan. Aku menunggu cahaya itu muncul lagi, walaupun untuk sedetik. Aku bangkit dan memasang posisi berlari, kalau-kalau lorong ini akan terbuka lagi ujungnya.

Dalam kegelapan dan ketidaktahuan, sepuluh detik serasa setengah jam. Aku tidak sabar. Aku meraba-raba kegelapan di hadapanku dan menyentuh sesuatu yang keras, tetapi lembab. Aku mendorong dinding yang lembab itu dengan sekuat tenaga.

Seperti pintu, dinding itu terbuka, memperlihatkan cahaya mahaterang yang kontras dengan kegelapan lorong tempatku terjebak barusan. Kedua mataku pelan-pelan beradaptasi dengan pemandangan itu, sambil menjejakkan kaki melangkahi batasan yang dibuat oleh dinding lembab barusan.

Kemudian aku terjatuh.

Dan terbangun.

Kubuka mataku.

Gelap. Semua gelap. Aku tidak bisa melihat apapun. Aku sudah membuka mata, namun sia-sia. Sekelilingku gelap. Dan sunyi.

--

Nadya tahu Kisana tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, diri Nadya, atau mimpinya... semata. Ia mengkhawatirkan kesemua itu. Nadya tahu Kisana bukan penakut, tetapi kegelapan bukan teman terbaik Kisana. Begitu pula dengan lift dan kamar mandi sempit.

Nadya berjalan perlahan menyusuri kucuran hujan lebat yang turun sejak sore, payung dalam genggaman, melindungi tubuhnya dari basah. Seharusnya malam itu bulan purnama muncul, tetapi hanya awan gelap dan rintik air lah yang terlihat. Tangan kirinya memegang karangan bunga segar, baru dibelinya dari toko langganannya.

Rumahnya gelap total. Nadya membuka kotak surat dan melihat tumpukan surat dari perusahaan listrik yang mensuplai listrik rumahnya. Tunggakan selama 6 bulan. Surat terbaru menyatakan akan datangnya petugas yang akan mencabut suplai listrik tempat tinggalnya secara permanen.

Mungkin aku akan mulai bekerja di toko bunga langgananku saja... kuharap mereka punya lowongan, pikirnya sambil menghela napas. Dingin. Napasnya berembun di lensa kacamatanya.

Ia berjalan menuju pekarangan belakang rumahnya yang luas. Balkon berkanopi mungil terisi dengan bangku-bangku kayu panjang bercat putih yang menghadap hamparan rerumputan halaman itu. Pinggir-pinggir pekarangan dibatasi dengan pagar kayu tinggi, di kaki-kaki pagar tertanam bunga-bunga yang tak terawat di sekeliling halaman, layu tinggal menunggu dipetik dan dibuang. Halaman itu terbengkalai, seperti halnya dengan tagihan listrik sang pemilik.

Nadya menuju sepetak tanah berumput yang tampak masih segar dan baru diolah. Ia taruh payungnya di bawah, membiarkan dirinya kebasahan, dan berjongkok sambil mengulurkan karangan bunga segarnya.

"Semoga kau bisa cepat berteman dengannya, Kis." Ia tersenyum dan menaruh bunga itu di atas petak tanah tersebut. Kemudian Nadya berdiri meraih payungnya dan beranjak masuk rumah.

--

"Jadi, pelakunya seorang mahasiswi?"

"Tepatnya bekas mahasiswi. Datanya di perguruan tinggi tempat ia terdaftar hampir nihil. Namanya ada, tetapi tidak ada nilai atau aktivitas yang tercatat."

"..dan ini," tunjuk lelaki berjanggut tipis ke foto yang sudah beberapa lama ini menjadi konsumsi penyelidikan, "adalah rumah-nya?!"

"Rupanya demikian." petugas penyelidikan yang tampak lebih senior darinya dan berseragam lengkap menjawab konfirmasinya.

"Dan pekarangan rumahnya ternyata dipenuhi jasad gadis-gadis muda mahasiswa baru perguruan tinggi itu?" si lelaki berjanggut tipis mencatat di notes kecilnya, tali kameranya menggantung di leher.

"Jumlah tepatnya sepuluh orang..." jawab si petugas.

"Dengan kesamaan mereka semua..."

"...mereka semua klaustrofobia."




---------------------------------------

Bandung, 8 Desember 2014.

No comments:

Post a Comment